Waktu berjalan dengan sangat cepat, seolah-olah ia tidak ingin berlama-lama dan memaksa semua manusia untuk segera menyelesaikan segala tugas dunianya. Musim berubah mengikuti perputaran bumi mengelilingi matahari, manusia penghuni bumi pun ikut berubah, baik itu sikap maupun pemikiran, sebab perubahan waktu memberikan pengajaran berarti secara tidak langsung. Dua tahun berlalu meninggalkan ingatan berbagai kejadian yang sebenarnya tidak ingin dilalui dengan cepat. Andaikan waktu memiliki kebaikan hati yang tinggi, dan membiarkan manusia menikmati masa menyenangkannya lebih lama dibanding kesedihan mereka.
Dara kini sudah berusia dua tahun. Dirinya semakin menggemaskan dan wajahnya semakin lama terlihat mirip seperti kakaknya. Cara bicaranya belum terlalu jelas, masih ada beberapa huruf yang belum bisa dirapalnya dengan benar. Itu membuat daya tariknya semakin meninggi, tidak hanya keluarganya yang senang bercengkrama dengannya, melainkan kadang pula tetangga dan beberapa orang asing yang mengajaknya mengobrol sekadar menghibur penatnya diri. Kesenangan yang sederhana yang mampu menggerus kesulitan sesaat.
Sama halnya dengan Rara, yang sebentar lagi memasuki usia remaja. Ia sangat menantikan masa itu. Beberapa kali telinganya mendengar bahwa masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan dibanding masa-masa yang lain. Sebagai seorang anak perempuan, tentunya sebelum bertemu dengan masa remaja, anak perempuan itu akan terlebihdahulu melewati sebuah proses menstruasi pertamanya. Rasanya sangat mendebarkan menunggu hadirnya hari itu. Lebih mendebarkan lagi ketika banyak dari teman-temannya sudah mengalaminya, sementara dirinya belum. Berbagai pertanyaan dan kecurigaan terhadap diri sendiri bermunculan hingga memenuhi isi kepala.
Dalam dua tahun ke belakang, banyak kejadian yang mempengaruhi perubahan diri Rara. Hal yang paling membuatnya terkejut yaitu ketika keadaan memaksa dirinya untuk mampu bersikap mandiri, menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkannya seorang diri. Awalnya ia kewalahan dan selalu menangis karena ia merasa ini semua terjadi begitu tiba-tiba. Dan itu membuatnya bingung. Beruntungnya ia memiliki Sena, sahabat karibnya, yang selalu setia membantunya dan menenangkannya disaat menangis kebingungan.
Tidak hanya itu, dengan berat hati ia membagi kasih sayang kedua orang tuanya kepada sang adik, sejujurnya melihat kejadian setiap kejadian yang terjadi di depan mata membuat hatinya iri dan gusar, terkadang membuatnya tidak betah untuk berlama-lama saat waktu kumpul keluarga. Dan hal lain yang sangat dirasanya berat ketika dirinya dipaksa untuk mengalah kepada sang adik. Dirinya yang memiliki keegoisan tinggi membuatnya berteriak marah, dan membuat sang adik menangis karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.
Baginya Dara merubah total kehidupannya. Ia tidak lagi bisa menikmati waktu lebih lama bersama bundanya. Waktu bundanya lebih banyak dihabiskan dengan bersenang-senang dengan Dara. Dan dirinya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Sena atau dengan kesendiriannya di kamar, tempat yang dirasa paling mengerti dirinya. Kalau sedang bosan, terpaksa ia bergabung membantu bundanya mengurus Dara, tepatnya membantu mempersulit bundanya, sebab sifat egoisnya.
Kepedulian kedua orang tuanya yang dirasa berkurang oleh Rara, membuatnya berpikir bundanya lebih menyayangi adiknya ketimbang dirinya. Tak jarang pikiran jahatnya berulah dengan mengatakan, “Dara sudah merebut bunda dan ayah,” “Bunda sudah nggak sayang lagi sama aku,” “Mereka hanya senang dengan Dara,” dan segelintir pemikiran jahat lain yang membuat hatinya sedih. Padahal itu semua tidaklah benar, kasih sayang kedua orang tuanya masihlah sama seperti sebelumnya, tidak berkurang sedikit pun. Rara belum bisa memahami betul bagaimana kondisi kedua orang tuanya saat itu, yang terpikirkan hanyalah ego besarnya untuk bisa mendapatkan kembali semuanya secara utuh. Gadis kecil malang dengan pemikiran bodohnya.
Rara sangat tidak menyukai anak kecil. Baginya mengurus anak kecil adalah hal yang sangat merepotkan. Belum lagi kalau anak kecil itu menangis, sakit sekali rasanya harus mendengarkan suara isakkan yang menusuk telinga. Selain itu, baginya menjadi seorang yang lebih tua harus mampu bersikap dewasa dan memberikan contoh yang baik kepada orang yang lebih muda darinya, sementara ia sendiri tidak merasa mampu melakukan itu, karena ia merasa terlalu kecil untuk berlaku seperti itu, dan merasa sangat tidak cocok untuknya.
Saat itu, hari sudah berganti malam. Udara cukup dingin akibat hujan siang penuh. Suasana untuk saling menghangatkan dirasa sangat pas. Berkumpul, bercengkrama dengan keluarga dirasa sebagai pilihan yang tepat untuk saling mengeratkan hubungan. Cahaya lampu pada malam itu tidak terlalu jernih benderang, sebab sudah sangat lama tidak diganti. Malam itu, Rara sedang bermain dengan bundanya dan sang adik, sementara ayahnya sedang menikmati tayangan ulang acara sepak bola di televisi di ruangan yang berbeda. Ia asyik bermain bersama boneka kelinci pemberian Sena yang ia beri nama Lany. Sang adik yang berkeinginan yang sama dengannya, merebut paksa Lany hingga membuat boneka itu jatuh ke tangannya. Rara tentunya tidak senang akan hal itu, ia merebut paksa kembali dan akhirnya terjadilah acara perebutan sengit Lany antara Rara dan Dara. Bundanya berbicara dengan pelan memintanya untuk meminjamkan sebentar, namun Rara tidak rela karena ia merasa Lany sangatlah berarti untuknya. Dengan segenap tenaga ia merebut boneka itu hingga akhirnya membuat salah satu telinga Lany putus. Rara geram melihat itu. Dan Dara menangis karena merasa haknya tidak dipenuhi.
“Telinganya lepas,” ucapnya setengah berteriak sambil menangis.
“Tadi kan bunda sudah bilang, pinjamkan sebentar. Kalau saja kamu menurut, telinga bonekamu nggak akan lepas.”
“Kok bunda jadi belain Dara. Bagaimana telinga Lanyku?”
“Bunda nggak bermaksud belain Dara. Nanti bunda jahit telinga Lanymu.”
Rara lantas pergi meninggalkan bundanya bersamaan dengan amarah dan perasaan sedihnya. Ia sangat tidak terima dengan ucapan bundanya yang ia rasa terlalu membela Dara dan seolah-olah ini semua adalah kesalahannya. Bundanya menghela nafas panjang-panjang agar dirinya tidak mudah tersulut emosi. Ia merasa dirinya tidak boleh tersulut emosi dengan cepat karena itu akan memperbesar masalah dan akan sangat merepotkan hati. Dalam kondisi seperti ini ia harus mampu menjadi orang yang bijak. Ia sadar akan posisinya di keluarga itu sebagai jantung, nyawa yang membawa kehidupan di keluarga itu. Bayangkan jika jantung itu lemah, maka keluarganya pun tidak akan mampu bertahan lama.
***
Pada suatu siang yang sedikit mendung, di Hari Minggu yang penuh dengan kelonggaran kegiatan, bundanya mengajaknya untuk membuat kue sekadar memberi kesenangan di hari libur dan mengasah kemampuan memasaknya. Saat itu bundanya masih berusaha keras menidurkan adiknya agar bisa bebas melakukan kegiatan lain, dan Rara diminta oleh bundanya untuk menunggu. Tidak sebentar untuk membuat Dara tertidur hingga benar-benar pulas. Salah pergerakan sedikit anak kecil itu menangis karena merasa posisinya tidak nyaman.
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Di samping membosankan, pekerjaan itu sangat membuang waktu. Banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan ketimbang harus menunggu sesuatu yang kenyataannya belum tentu terlaksanakan. Yang menyebalkannya lagi, ada beberapa segelintir orang yang bersikap tak acuh dan berbuat seenaknya terhadap waktu orang lain, seakan waktu hanya miliknya seorang. Pendidikan mengenai menghargai waktu orang lain seperti perlu diterapkan dan ditanamkan baik-baik di semua orang.
Rara mulai bosan. Sudah tiga puluh menit ia menunggu bundanya tidak memberikan kepastian sejati. Lantas ia putuskan mengisi kebosanan itu dengan menonton acara televisi secara acak. Ia memijit-mijit remot televisi mencari acara yang menurutnya menarik. Acara televisi rupanya tidak beda membosankan dengan pekerjaan menunggu yang saat ini sedang digelutinya. Sejenak ia berpikir, memikirkan kegiatan apa yang perlu ia lakukan untuk mengusir kebosanannya. Tidak ada satu pun kegiatan yang terlintas dipikirannya, yang ada hanyalah pikirannya tentang Sena yang sedari pagi tadi tidak memunculkan batang hidungnya. Ingin rasanya berkunjung ke rumah Sena sekadar menanyakan kabarnya, namun ia terlalu malas, sepertinya gaya gravitasi di sofa begitu besar sampai-sampai tubuhnya sulit untuk diangkat.
“Ra, yuk kita mulai,” bisik bundanya khawatir Dara akan terbangun mendengar suaranya.
Keduanya bersiap di posisi masing-masing. Bundanya menyiapkan segala alat dan bahan yang dibutuhkan, semetara Rara menunggu instruksi penguasa dapur. Dengan hati-hati alat dan bahan diletakkan di atas meja agar tidak mengeluarkan suara yang gaduh.
“Ra, tolong ambilkan tiga butir telur di kulkas.?”
“Oke siap, bun.”
“Setelah itu tolong kamu timbang tepung terigunya 400 gram, dan timbang margarinnya 200 gram setelah itu kamu masukkan ke dalam teflon jangan lupa kompornya dinyalakan supaya menteganya mencair. Kamu bisa, ra?”
“Bisa, bun. Bun, hari ini kita mau buat kue apa?”
“Kue bolu, yang mudah tapi tetap enak untuk cemilan.”
“asyik! Rara nggak sabar mau makan kue buatan bunda. Pasti sangat enak, nggak kalah enak sama kue-kue yang dijual di toko roti di pinggir jalan. Membayangkannya saja sudah membuat air liur Rara mau menetes.”
“Berlebihan kamu, ra,” bundanya tertawa melihat tingkah lucu putri pertamanya. Sifatnya masih sama lucunya seperti saat kecil dulu, hanya perawakannya saja yang membesar. Keadaan di luar yang mendung tidak mempengaruhi suasana di dalam rumah. Suasana di dalam rumah begitu cerah dan menghangatkan hati. Rara sangat senang dengan keadaan yang saat ini sedang berlangsung. Setelah sekian lama ia menantikan waktu kebersamaannya lagi bersama bundanya. Ia berharap waktu menaruh kebijakan hati untuknya, dengan sungguh-sungguh ia ingin kejadian ini berlangsung lama.
Tepung terigu sudah ditimbang, margarin sudah dilelehkan di atas teflon, telur juga sudah disediakan secukupnya, gula sudah cukup untuk memberi kesan manis di mulut, dan bahan pelengkap lainnya sudah cukup siap. Seluruh bahan sudah siap untuk dicampur hingga menjadi adonan. Namun, tepung terigu nampak aneh.
“Ra, tepung terigunya tadi kamu timbang dulu, kan?”