Rara

Hai Ra
Chapter #6

Bagian 6: Surat

 

Kepergian Sena yang tiba-tiba telah berlalu seminggu yang lalu. Semua kejadian menyenangkan yang Rara lalui bersama Sena terasa seperti mimpi semalam. Tidak percaya begitu cepat seluruh waktu bahagianya bersama Sena direnggut begitu saja. Kepergian Sena yang terlalu tiba-tiba itu menyisakan ingatan-ingatan sendu hingga mengaburkan ingatan-ingatan manis yang pernah dilalui. Rasanya ingatan sendu itu jauh lebih mudah diingat dibandingkan dengan ingatan-ingatan manis yang jumlahnya jauh lebih banyak. Segala hal dilihatnya begitu jahat. Jahat karena telah merenggut kesenangan dirinya.

Semenjak kepergian Sena, Rara terlihat lebih murung tidak seceria biasanya. Suasana hatinya pun menjadi lebih mudah berubah-ubah. Sebentar senang, sebentar sedih, sebentar senang, sebentar sedih, dan begitu seterusnya, seperti arena roller coaster. Ketika di sekolah pun, tepatnya saat jam istirahat, ia yang biasanya begitu ramai kali ini menjadi lebih tenang. Mulanya teman-teman sekelasnya menatapnya aneh, sangat aneh, seorang Rara, gadis bertubuh kecil tetapi bersuara gemuruh saat ini menjadi seorang gadis kecil bersuara tenang, setenang tiupan angin di bawah pohon rindang.

Rara sangat merindukan Sena. Seminggu rasanya seperti setahun. Sena pergi membawa setengah perputaran waktunya. Jangankan seminggu, satu hari saja itu terasa sangat lama. Seringkali ia merasa bosan dan kehabisan akal untuk menghabiskan waktu satu harinya. Benar-benar keterlaluan, Sena pergi tidak hanya membawa barang-barang miliknya, tetapi kepunyaan Rara pun dibawa pergi olehnya.

Saat Rara melewati rumahnya, entah itu saat pulang sekolah, keluar rumah untuk sekadar keliling komplek, dan kegiatan remeh lainnya, ia selalu memerhatikan rumah itu dan lantas teringat Sena. Hatinya merasa sedih ketika menyadari bahwa rumah itu kembali kosong, kembali menjadi rumah berhantu. Halaman rumah itu terlihat kotor, tanaman-tanaman yang sebelumnya tumbuh subur kini mengering dan ada juga yang sudah benar-benar mati tidak bisa diselamatkan lagi. Sangat pantas dengan sebutan yang diberikan oleh warga setempat, rumah hantu. Seminggu yang kelihatannya sebentar, nyatanya mampu merubah jauh segalanya, sangat tak disangka-sangka.

Rasa rindu rutin berdatangan sekadar ingin bertamu dan menanyakan kabar seseorang yang dikunjunginya. Bukan sebagai rasa peduli, melainkan sebagai rasa pengingat. Dengan polosnya dan melupakan kesedihan sang pemilik ia dengan santainya mengingatkan kilasan-kilasan kebahagiaan yang pernah terjadi jauh-jauh hari. Menyebalkan bukan? Apa perlu rindu ini disekolahkan supaya mengerti sopan santun dan tidak berbuat seenaknya?

Siang itu, di hari Minggu yang penuh dengan kelonggaran aktifitas Rara duduk di dekat jendela kamarnya mengamati rumah yang tidak lagi berpenghuni. Teringat jelas potongan kejadian ketika di pagi yang sendu ia melihat seorang anak laki-laki yang sangat menarik perhatiannya. Ia masih ingat betul segalanya, suasananya, cuacanya, dan debaran hatinya yang tidak sabar untuk bisa cepat-cepat berkenalan dengan anak laki-laki pemalu itu. Sayang sekali semua itu sudah berlalu begitu jauh dan saat ini dirinya dihadapi oleh kenyataan menyedihkan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Ra, ini ada surat buat kamu,” ucap bundanya dengan wajah sumringahnya. Ia tahu betul putri pertamanya itu sedang menunggu kehadiran surat itu jauh-jauh hari. Ia sangat yakin kalau hati anak pertamanya saat ini sedang dipenuhi bunga, seperti kebun bunga yang ada di puncak.

Rara menerima surat itu dengan bersemangat dan berbahagia. Ia membuka pelan-pelan amplop surat itu karena takut melukai selembar kertas berharga yang ada di dalam. Dengan segenap jiwa ia bacakan surat itu dalam ketenangan dan penuh penghayatan, seolah dirinya sedang membacakan teks Undang-Undang Dasar pada upacara rutin di hari Senin, namun tidak penuh kelantangan, cukup dalam hati saja agar orang lain tidak bisa tahu. Lagi pula untuk apa pula orang lain mengetahui isi surat itu.

 

Untuk Rara,

Hai sahabatku, Rara, bagaimana kabarmu? Apakah kamu masih marah sama aku? Aku minta maaf, ra. Kamu jangan salah paham soal kepindahanku yang tiba-tiba. Aku nggak bermaksud untuk menjauhimu. Aku juga nggak bermaksud ingkar dengan janjiku. Aku baru ingat janji itu setelah aku sampai di rumah nenekku, di Malang. Aku minta maaf, ra. Aku harap kamu mau memaafkan aku. Soal kepindahan aku, aku nggak sempat bilang ke kamu karena ini sangat mendadak. Tiba-tiba saja malam sebelumnya mamaku menerima kabar kalau dua minggu ke belakang nenekku sakit, dan malam sebelum aku pindah kondisi nenek semakin memburuk maka dari itu keluargaku langsung memutuskan untuk ke Malang.

Ra, di sini dingin, udaranya enak nggak kayak Jakarta yang panas. Aku sangat menyukai udara di sini. Kamu tahu apa lagi yang membuat aku terkejut dengan keadaan di sini? Di sini ada delman, ra. ada banyak, nggak cuma satu. Di depan gang rumahku ada jejeran delman sebagai pengganti ojek. Orang-orang di sini jarang memanggil ojek, mereka lebih senang naik delman. Termasuk kakakku yang banyak cerita kepadaku sewaktu dia berangkat dan pulang sekolah dia selalu naik delman. Oh iya aku menulis surat ini dibantu oleh kakakku. Dia sekarang sudah SMP, jago banget kalau soal menulis.

Ra, kamu di Jakarta bagaimana? Senang juga bukan? Aku di sini sangat senang, walaupun sebenarnya aku kangen kamu, mau main bareng lagi. Mama bilang kepadaku, bahwa suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi. Katanya aku tidak perlu khawatir.

Ra, sudah dulu ya, nanti aku ceritakan lagi hal seru lainnya dalam surat-suratku yang lain.

Sahabatmu

Sena

 

Setelah membaca surat itu rasa bahagia Rara menjadi berlipat-lipat. Tak kalah dengan perasaan sedihnya yang tidak mau ketinggalan absen. Perasaannya bercampur aduk dalam satu waktu bersamaan. Ia senang Sena benar-benar mengirimkan surat yang telah berhari-hari ditunggunya dan ia juga senang mendengar cerita Sena mengenai udara di sana dan delman yang berjejer. Ingin rasanya pergi ke sana saat itu juga untuk bisa merasakan apa yang Sena rasakan. Kemudian ia merasa sedih karena ternyata kehadiran surat Sena membuatnya kembali teringat kepada perpisahan yang terjadi seminggu lalu dan memberikan rasa kerinduan yang melebihi batas normalnya. Rasa rindu itu yang membuat rasanya semakin ingin berlari ke sana. Andai dirinya memiliki kemampuan super seperti super hero yang ada di film-film, pasti segalanya akan menjadi lebih mudah.

Dari matanya keluar bulir-bulir air hingga membasahi beberapa sisi kertas. Tidak ingin kertas yang dipegangnya rusak, karena dirasa sangat berharga, ia singkirkan sejenak kertas itu, kemudian ia mencoba menenangkan dirinya semampunya. Ia menghapus air matanya yang sulit dihentikan, susah payah ia berusaha mengusir perasaan sedihnya. Memang ya kalau sudah berhubungan dengan perasaan sedih sangat merepotkan. Lebih mudah terbawa arus dibandingkan dengan berpikir jernih.

Perlahan perasaan sedihnya berkurang. Di kesempatan itulah ia memanfaatkan untuk menuliskan surat balasan untuk Sena. Ia tidak ingin menunda-nunda membalas pesan yang sangat ia nantikan, dan ia tidak bisa menahannya karena penahanan hanya akan membuat perasaannya semakin meledak, pun dengan tanggannya yang ingin segera menuliskan segala keluh kesahnya kepada si pengirim.

 

Untuk Sena,

Hai sahabatku, Sena. Kabarku nggak terlalu baik. Akan aneh kalau kabarku sangat baik mengingat kejadian seminggu lalu kamu tiba-tiba pindah tanpa memberi kabar apa pun. Tetapi, aku sangat senang saat surat dari kamu sampai di rumahku. Bunda yang menerimanya dari bapak tukang pos yang sangat baik hati. Aku juga sangat senang membaca ceritamu, rasanya saat ini juga aku mau pergi ke sana nyusul kamu, lalu naik delman. Aku nggak pernah naik delman. Aku sangat penasaran dengan bagaimana rasanya naik delman. Selama ini aku hanya lihat delman di televisi. Melihatnya saja membuat aku senang, mungkin setelah aku merasakan sensasinya secara langsung aku akan menjadi lebih senang.

Oh iya aku kangen dengan cookies coklat buatan mama kamu yang super duper lezat. Aku mau makan itu sekarang. Apakah kamu bisa mengirimnya bersamaan dengan suratmu nanti? Aku sangat ingin memakan itu. Kalau aku boleh jujur, sebenarnya kue bolu buatan bunda minggu lalu tidak selezat cookies coklat buatan mama kamu. Eh kamu jangan bilang siapa-siapa ya, termasuk bunda. Nanti bunda tersinggung dan marah. Tetapi, sepertinya bunda akan tahu deh, soalnya aku menulis surat ini dibantu bunda. Aku menulisnya lalu bunda aku minta untuk membenarkan tulisanku karena aku sangat buruk dalam hal menulis surat. Ku harap saat bunda mengoreksi suratku ini ia nggak akan tersinggung dan membenciku karena merasa kurang akan pujianku terhadap kue bolu buatannya.

Oh iya rumah kamu saat ini jadi rumah berhantu. Serem. Sudah seminggu ini aku nggak pernah ke sana lagi. Lagian tujuan aku ke sana biasanya ingin bermain denganmu, tapi saat ini kamunya nggak ada jadi aku nggak punya tujuan lagi ke sana.

Sena, segera balas suratku ya. Aku sangat tidak sabar menunggu-nunggu suratmu. Ceritakanlah lebih banyak hal-hal menarik di sana sampai membuat aku iri hati dan ingin segera mendatangimu ke sana.

Lihat selengkapnya