Rara

Hai Ra
Chapter #7

Bagian 7: Tampil di Acara Perpisahan

Setelah Rara menyerah menuliskan surat untuk Sena, dan menyerah untuk mengharapkan kehadiran surat Sena dirinya merasa jauh lebih baik daripada sebelumnya. Biarpun dia menyerah dengan kedua hal itu, namun ia tetap tidak menyerah dengan doa baiknya untuk Sena, seperti saran bundanya beberapa bulan lalu. Segala bentuk doa-doa baik penuh dengan keringanan hati rutin ia ucapkan agar orang yang sedang jauh di sana tetap selalu sehat, senang, dan dalam lindungannya. Dirinya merasa jauh lebih tenang. Perasaan gusar yang semula sering menghampirinya, saat ini sangat jarang ia rasakan. Ia kembali menjadi dirinya sendiri yang selalu ceria dan bersinar seperti cahaya rembulan.

Beberapa waktu lalu Rara telah menyelesaikan ujian sekolahnya. Tinggal menunggu beberapa hari lagi pengumuman kelulusan diberitahukan. Jantungnya sangat berdebar-debar menantikan kabar itu. Sejak beberapa bulan lalu dirinya sudah merasa bosan dengan sekolahnya saat ini, rasanya ingin segera cepat-cepat berpindah sekolah dengan menggunakan seragam satu tingkat lebih tinggi dari yang ia gunakan sekarang. Sama halnya dengan Dea, teman setianya yang selalu menemaninya semenjak Sena pindah ke Malang. Kedua gadis ini terlalu heboh menantikan hari itu. Dan jauh sebelum kabar kelulusan tiba, keduanya sudah berikrar akan masuk di sekolah SMP yang sama.

Dea berhasil menggeser posisi Sena dari hati gadis kecil itu, walaupun tidak sepenuhnya. Sementara ia menyimpan Sena dalam lubang hatinya yang lain agar dirinya tidak terlalu hanyut oleh keadaan yang penuh dengan ketidakpastian.

“Berapa hari lagi pengumuman kelulusan?” tanya Rara dengan penuh kegembiraan dan ketertarikan pada hari yang mendebarkan jiwa itu.

“Lusa, ra, lusa. Ya ampun deg-degan banget aku. Pasti akan lulus bukan?” ucap Dea dengan penuh kekhawatiran.

“Kata bundaku, kita pasti akan lulus. Kemarin kan kita sudah berusaha. Kamu ingat bukan kamu sempat menginap di rumahku gara-gara kita belajar semalaman bersama, aku yakin kita berdua akan lulus dengan nilai yang memuaskan.”

“Tahu darimana kamu, ra? Kamu peramal?” Dea meragukan ucapan Rara yang begitu optimis. Dea merasa usahanya itu masih belum bisa dikatakan cukup, baginya masih sangat kurang. Terlebih saat mengerjakan soal ujian dirinya merasa begitu gugup sehingga sejenak di awal waktu ia merasa kosong, dan ditambah lagi ada beberapa soal yang dijawabnya dengan penuh keraguan.

“Karena bundaku bilang usaha nggak mengkhianati hasil, de.”

“Dari tadi kamu bilang kata bundaku, bundaku bilang terus. Apa jangan-jangan bundamu yang seorang peramal? Lagian nggak semua usaha memberikan hasil yang kita mau, ra, contohnya kakakku. Kemarin dia baru saja ditolak oleh kampus impiannya, padahal kalau aku lihat dari usahanya dia sudah berusaha keras.”

“Bukan, bundaku bukan peramal,” ucap Rara dengan tawa khasnya yang mampu mengundang tawa orang lain, “Mungkin kakakmu nggak beruntung,” lanjutnya dengan nada keraguan.

Mendengar kabar kakaknya Dea yang tidak masuk kampus impiannya padahal sudah berusaha keras, membuat Rara terhasut untuk berperilaku sama gusarnya dengan Dea. Setelah mendengar itu, dirinya meragukan ucapan bundanya tempo hari lalu. “Bukankah sangat nggak adil kalau usaha keras kita berkhianat,” benaknya.

Hari ini wali kelas Rara, bapak Gandhi, mengabarkan bahwa dua minggu setelah adanya pengumuman kelulusan sekolah akan mengadakan sebuah acara perayaan perpisahan. Siapa pun berhak untuk ikut berpartisipasi dalam acara itu, “Dalam acara itu, bapak minta kalian untuk berpartisipasi. Kalian boleh menunjukkan bakat kalian apa pun. Boleh menyanyi, menari, menampilkan drama, dan apa pun itu. Bapak berharap di kelas kita ini banyak siswa yang ikut berpartisipasi,” ucapnya dengan suara beratnya.

“Pak, memasak boleh?” ucap salah satu anak di kelas.

“Boleh, yang penting jangan sampai membakar aula.”

“Kalau membaca puisi, pak?”

“Boleh, harus dengan penuh penghayatan, pastinya.”

“Kalau pantomim, pak?”

“Boleh, kalian boleh melakukan apa pun asalkan tidak menampilkan yang aneh-aneh.”

“Aneh-aneh bagaimana pak?”

“Barangkali diantara kalian ada yang mau melakukan debus,” ucapan yang dilontarkannya sekadar guyonan itu disambut dengan gelak tawa dari semua siswa yang ada di kelas itu. Suasana kelas menjadi ricuh. Setelah ucapan pak Gandhi mengenai penampilan debus, membuat siswa-siswa mengatakan penampilan lain yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh siswa kelas enam SD.

“Ra, kita nanti mau tampilin apa di acara perpisahan?” tanya Dea dengan suara berbisik.

“Apa? Nggak kedengeran?”

“Kita nanti mau tampilin apa di acara perpisahan?” tanya Dea kedua kalinya dengan suara yang meninggi.

“Kamu ada ide?”

“Nggak ada.”

“Hey Rara, Hey Dea,” sapa Bima tiba-tiba hingga membuat dua gadis itu terkejut hampir berteriak. Pantas saja kalau kedua gadis itu merasa terkejut dengan kehadiran Bima. Di tengah pembicaraan yang serius kedua gadis itu, Bima datang menyapa diiringi oleh suara gebrakan meja hingga membuat kericuhan berhenti sejenak. Sedetik beberapa anak lainnya mengalihkan pandangan tidak sukanya ke arah gebrakan meja itu. Mereka pun sama terkejutnya dengan kedua gadis yang saat ini ada dihadapannya.

“Bima, bikin kaget orang saja. Nanti kalau tiba-tiba aku jantungan bagaimana?” omel Rara dengan memasang wajah marah sambil mengusap-usap dadanya supaya detak jantungnya kembali normal.

“Ya maaf, lagian kalian kelihatan serius banget. Lagi ngomongin apa sih? Oh iya, kita satu tim yuk untuk tampil di acara perpisahan nanti.”

“Bisa apa kamu?”

“Jangan salah sangka kamu, ra, gini-gini aku bisa melakukan banyak hal.”

“Iya, tapi apa?”

“Aku bisa makan....., bisa ngelawak......., bisa manjat pohon......., jago dalam semua permainan anak laki-laki....., dan pastinya aku bisa melamun dengan waktu yang lama.” ucap Bima dengan terbata-bata sebab mengingat-ingat bakat yang ia punya. Diakhir ucapannya ia menekankan cara bicaranya agar terdengar meyakinkan oleh telinga kedua gadis yang diajak bicara itu.

“Ya kali kamu mau menampilkan pertunjukkan melamun di sepanjang acara, yang ada semua penonton bosan lihat kamu, dan langsung bubar pulang. Lalu tadi kamu bilang hobi kamu makan, kalau makan semua orang juga bisa, nggak ada istimewanya” kritik Rara dengan lugasnya, Bagaimana kalau kita tampilin drama? Sepertinya seru,” lanjutnya dengan nada bicara yang penuh dengan ketertarikan.

“Drama?” tanya Dea menyakinkan keputusan teman baiknya itu.

“Iya, Drama. Pasti akan sangat seru, nanti kita akan berpenampilan berbeda dari biasanya, berdialog ditengah-tengah penonton, dan diakhir penampilan kita akan diberi tepuk tangan yang meriah. Sangat seru bukan?”

“Aku suka ide kamu, ra. tentang apa, ra, dramanya?” tanya Arif yang tiba-tiba ikut berkontribusi agar kehadirannya di sana tidak dipertanyakan.

“Tapi, kalau drama, aku malu, ra,” ucap Dea mencoba menari dirinya keluar dari zona itu.

“Malu kenapa? Kan ada aku, Bima, dan Arif. Kamu nggak sendiri, de, di atas panggung nanti.”

“Aku nggak bisa akting, dan lebih dari itu aku sangat malu mempertontonkan diriku di depan orang banyak.”

“Kamu harus percaya diri, de, kita harus jadi orang yang nggak tahu malu nanti saat di panggung nanti,” Rara mencoba menenangkan Dea dengan saran asal sekenanya. Dea pun akhirnya menyetujui ide Rara itu, namun dirinya meminta Rara untuk membuatkan diolagnya sedikit saja. Dea khawatir jika dirinya diberikan dialog yang cukup banyak akan merusak penampilan mereka, karena sejujurnya Dea belum pernah tampil dalam drama, dan ia sangat malu menjadi tontonan banyak orang.

“Kalian ada yang punya ide? Kita butuh cerita drama yang isi pemainnya ada empat orang,” tanya Rara bersemangat kepada ketiga orang timnya.

“Bagaimana kalau malin kundang? Aku jadi malinnya, Rara jadi istrinya, Dea jadi ibunya malin, Arif jadi batunya nanti,” usul Bima disusul dengan cekikikannya karena merasa lucu dengan imanjinasinya sendiri. Sementara itu, Rara, Dea, dan Arif hanya diam menatap keanehan yang ada pada diri Bima. Bagi mereka bertiga cerita itu sangat konyol, terlebih peran Arif yang hanya berperan sebagai batu. Dan lelucon Bima sangatlah tidak lucu dan tidak sesuai, malah sebaliknya, leluconnya lebih terdengar seolah dirinya sedang mengejek Arif, sahabat karibnya.

“Bagaimana kalau ceritanya tentang persahabatan saja. Persahabatan kita berempat. Jadi nanti di awal cerita Rara dan Dea bersahabat sejak kecil mereka sangat dekat, kemudian aku dan Bima juga sama seperti itu. Nah, nanti ceritanya kalian sedang pergi berjalan-jalan, lokasinya aku belum menentukan, lalu nanti kita berpapasan. Saat itu Rara dan Dea sedang beristirahat dari perjalanannya dan membuka bekal makanannya, kemudian aku dan Bima juga sama, tetapi ternyata aku dan Bima lupa membawa bekal makanan kita, dan kalian berbaik hati membagikannya kepada kami. Bagaimana?” usul Arif.

“Lumayan juga ide Arif.”

“Tumben, rif, ada ide. Biasanya iya iya aja,” sindir Bima yang merasa sedikit kesal karena usulnya ditolak.

“Oke, yang setuju dengan ide Arif boleh angkat tangannya,” Rara yang memberikan arahan sudah lebih dulu mengangkat tangannya, disusul oleh Dea, Arif, dan terakhir Bima yang sedang memendam sedikit rasa kekecewaan.

“Kita mulai buat dialog dan latihan besok, ya,” perintah Rara seolah dirinya adalah ketua dari tim itu.

Siang itu Rara merasa sangat lelah. Sepertinya tenaganya terkuras banyak ketika dirinya sedang memikirkan konsep drama sebelumnya bersama Dea, Bima, dan Arif. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Ariflah yang paling berjasa di balik konsep drama itu, sebab ide itu datang dari dirinya, dan teman-temannya yang lain sekadar memberi tambahan sebagai penyempurna. Tetapi, kenyataannya pun bekerja sebagai pemberi tambahan juga melelahkan, dan bahkan lebih memusingkan karena dibutuhkan ketelitian lebih agar penampilan mereka terlihat mendekati sempurna. Sangat mustahil jika mereka mengejar kesempurnaan yang penuh.

Lihat selengkapnya