Rara

Hai Ra
Chapter #8

Bagian 8 : Gelombang Emosi

Perkiraan bunda Rara terhadap kondisi anaknya pun betul. Datang bulan pertama Rara datang disaat yang tidak tepat. Rara tidak bisa merayakan kelulusannya dengan penuh suka cita karena kedatangan datang bulan pertamanya yang tiba-tiba. Di sepanjang perjalannya menuju rumah, ia terus mengeluhkan rasa sakit di perutnya yang tidak kunjung mereda, malah sebaliknya, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi hingga membuat si penderita merasa sengsara setengah mati. 

“Bun, perut Rara sakit banget,” keluh Rara sambil menekan perutnya, berharap rasa sakitnya bisa berkurang saat ia menekan perutnya, “Bun, kayaknya Rara sakit parah deh, perut Rara sakit banget. Rara nggak kuat, bun,” lanjutnya bersikap serba tahu.

“Bukan, itu bukan sakit parah, ra. Itu wajar dirasakan oleh semua perempuan,” bundanya tertawa melihat sikap putrinya yang melebih-lebihkan penyakitnya. Wajar jika Rara berpikiran seperti itu, karena memang ini adalah pengalaman pertamanya. Melewati menstruasi pertama, Rara seolah-olah memasuki dunia baru, dunia baru yang berisi banyak kesulitan dan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah dilaluinya.

Sesampainya di Rumah, Rara bergegas ke kamar mandi. Betapa terkejutnya ia ketika melihat bercak darah mengotori celananya. Berbagai dugaan merisaukan hati pun muncul dalam benaknya. Selama beberapa detik sebelumnya ia sempat terdiam, kemudian berlanjut suara teriakan histerisnya. Bundanya yang masih sibuk mengurus Dara pun bergegas berlari ke arah sumber suara. Betapa khawatirnya ia melihat Rara dengan kekacauan yang dilihatnya.

“Bun, ada darah. Sebenarnya apa yang salah dari tubuh Rara?” ucapnya sambil menangis ketakutan.

“Nggak apa-apa, ra. Itu namanya menstruasi. Setiap anak perempuan yang beranjak remaja akan mengalami menstruasi. Kamu nggak perlu panik.”

“Rara takut, bun.”

“Nggak perlu takut, ra. Sini bunda bantu.”

Bundanya mengajari Rara mengenai beberapa hal yang perlu dilakukan oleh seorang perempuan saat menstruasi. Setelah mendengar penjabaran bundanya, perlahan Rara mulai tenang, dan bisa memahami keadaan yang sedang ia alami. Sebelumnya Rara sudah mengenal menstruasi di bangku sekolah, namun sepertinya pengetahuan yang ia dapat, yang hanya sebatas teori tidak cukup untuknya dalam menanggapi kedatangan menstruasi yang tidak terprediksi. Anak perempuan yang baru beranjak remaja itu dibuat bingung, bahkan hingga menangis ketakutan.

Rara merasa tidak nyaman dengan adanya pembalut yang bersemanyam di tubuhnya. Segala posisi dianggapnya serba salah, duduk tidak nyaman, berdiri tidak nyaman, bahkan saat merebahkan diri pun yang biasanya terasa menyenangkan, saat ini tidak lagi. Baginya menjadi seorang perempuan sangatlah sulit, ditambah lagi dirinya harus kuat menahan rasa sakit di perutnya. “Sanggupkah aku merasakan ini setiap satu bulan sekali?” keluh batinnya.

Tidak sampai ketidaknyamanan itu, kenyataannya menstruasi juga mempengaruhi perubahan suasana hatinya. Beberapa hari setelah datangnya tamu yang tidak diundang itu, ia merasakan keanehan yang mengusik batinnya. Ia jadi lebih cepat murung, sedih, dan hal kecil yang dianggapnya tidak pantas akan membuatnya marah. Sederhananya ia mengalami perubahan suasana hati yang cepat dan tidak menentu, sepertinya halnya remaja-remaja labil di luar sana. Dan tentu saja hal ini membuatnya kewalahan setiap waktu. Tidak sampai di situ, ayahnya, bundanya, dan Dara pun ikut merasakan imbasnya.

Ayahnya merasa perubahan suasana hati yang tidak menentu itu sangatalah tidak masuk akal. Ia sering kali membandingkan masa pubertas Rara dengan masa pubertasnya dulu. Ia merasa pernah mengalami hal yang sama dengan Rara, dan dianggapnya ia berpengalaman dalam hal itu. menurutnya perubahan suasana hati Rara sangat berlebihan. Ia merasa terganggu dengan perubahan suasana hati Rara yang tiba-tiba, hal itu membuat orang-orang disekitarnya pun ikut merasa jengkel. Pertengkaran antara Rara dan ayahnya pun sudah pasti akan terjadi jika perubahan itu datang. Sementara itu, bundanya lebih memilih menyelamatkan dirinya dan Dara dari pertengkaran sepele itu dengan besembunyi di kamar atau terkadang keluar rumah berjalan-jalan menyegarkan diri.

Berbeda dengan ayahnya yang begitu angkuh mengenai pengetahuannya terkait masa pubertas, dan tidak mau menerima kondisi Rara apa adanya, bundanya merasa itu wajar dirasakan dan dilalui Rara. Ia paham betul segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini terus berjalan, tidak sekadar diam di tempat, dan hal itu menyebabkan perubahan-perubahan terjadi di dalamnya. Sama halnya dengan perubahan yang ada pada diri Rara. Masanya dengannya dengan Rara jauh berbeda, tidak bisa dibandingkan. Justru dari pengalaman yang dulu ia dapatkan ia perlu menggabungkannya dengan masa sekarang sehingga segala kesalahpahaman dan sikap egosentris bisa dihindari. Walaupun ia sendiri tidak bisa membohongi dirinya, terkadang ia pun merasakan rasa jengkel yang sama, namun ia tidak bisa mengedepankan kejengkelannya itu. Itu hanya akan membuatnya dan orang-orang terdekatnya terluka. Diantara orang-orang yang bebal, yang tidak bisa mengendalikan diri, setidaknya ada satu orang yang masih rasional yang mampu mengendalikan keadaan agar menghangat kembali.

Berselang beberapa hari dari acara perpisahan sekolah, Dea, Bima, dan Arif datang menjenguk Rara. Mereka kahwatir melihat kepergian Rara yang tiba-tiba saat acara perpisahan berlangsung. Terlebih mereka mendengar desas-desus yang mengatakan kalau Rara sakit parah, semakin bertambahlah perasaan khawatir mereka terhadap Rara. Namun, mereka tidak memiliki keberanian untuk mengunjungi Rara di keesokan harinya, karena khawatir akan mengganggu waktu istirahat Rara.

“Bagaimana, ra, sudah mendingan?” tanya Dea yang sangat mengkhawatirkan kesehatan sahabatnya itu. Tidak biasanya Rara sakit. Dea sangat mengenal Rara, Rara adalah anak perempuan yang jarang sakit, bahkan dirinya sama sekali tidak pernah  melihat Rara jatuh sakit, maka dari itu setelah ia mendengar kabar Rara sakit ia merasa sangat khawatir, bahkan semalam sebelumnya pun ia tidak bisa tidur mengkhawatirkan sahabatnya itu.

“Lebih baik dari kemarin.”

“Ra, memangnya kamu sakit apa? Sakitnya parah sampai harus pulang duluan saat acara perpisahan sekolah beberapa hari lalu?” tanya Bima menyelidik seperti seorang detektif. Ia berimanjinasi menggunakan pakaian layaknya seorang detektif dengan tatanan rambut rapih beroleskan minyak rambut yang aromanya menusuk hidung.

“Nggak parah,” jawab Rara singkat. Ia merasa malu mengatakan penyebab rasa sakitnya di depan teman-temannya. Maka dari itu ia memilih untuk bungkam, merahasiakan sumber kesakitannya.

“Sakit apa, ra?” tanya Bima memaksa. Rara terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Beruntungnya ada Arif yang segera mengalihkan pembicaraan, “Rumah kosong itu dulunya rumah Sena bukan, ra?” ucap Arif dengan ringannya tanpa memikirkan perasaan Rara. Setelah mendengar pertanyaan itu, benteng pertahanannya dari perasaan sedihnya perlahan runtuh, dan segala bentuk kejadian masa kecilnya bersama Sena pun berputar kembali di kepalanya.

“Rif!” panggil Dea menyadarkan Arif bahwa pertanyaannya sangat tidak tepat. Arif pun tersentak ketika menyadari pertanyaannya sebelumnya. Ia ingin sekali mengucapkan “Maaf” tapi bibirnya terasa kaku seolah ia sudah menolak lebih dulu, dan akhirnya hanya keheningan yang ia ciptakan.

“Oh iya, kalian mau minum apa?” tanya Rara bersikap seolah tidak ada sesuatu yang mengusik batinnya. Belum sempat terjawab pertanyaannya itu, bundanya datang membawakan empat gelas berisikan jus jeruk lengkap dengan beberapa camilan.

“Ayo, silahkan dinikmati,” ucap bundanya penuh dengan keramahan hati. Suaranya begitu lembut, dan membuat siapa pun tenang setelah mendengarnya.

Lihat selengkapnya