Rara

Hai Ra
Chapter #9

Bagian 9: Berkunjung ke Rumah Bibi

Jatah libur sekolah Rara kali ini lebih istimewa dibandingkan dengan jatah liburan sekolahnya yang lalu-lalu. Kalau sebelumnya Rara hanya mendapat jatah libur dua minggu, kali ini jatah liburnya lebih panjang dua atau mungkin tiga kali lipatnya dari itu. Tentunya panjangnya waktu liburan ini membuat siapa pun berbangga hati, dan berkhayal sepanjang liburan itu dihabiskan dengan bermalas-malasan di atas ranjang kesayangan. Namun, realitanya ada kesibukan lain yang mengharuskan tetap produktif sepanjang masa liburan. Di tengah kesempatan bersantai itu, mau tidak mau Rara tetap harus menyibukkan dirinya untuk menyiapkan segala berkas yang ia butuhkan untuk mendaftarkan diri ke SMP, dan melupakan kegiatan bersantai yang ia idam-idamkan sejak lama.

Sudah beberapa hari ini, Rara sibuk bolak-balik ke Sekolahnya untuk meminta berkas ini-itu. Setiap berkas penting yang sudah ada di tangannya, ia susun dengan rapih sesuai dengan urutan yang ditentukan. Sementara itu, ia harus lebih bersabar diri menunggu, bahkan hingga berminggu-minggu, berkas-berkas lain yang tidak kalah pentingnya. Hebatnya, Rara menyiapkan segala berkas yang dibutuhkannya seorang diri, terkadang ia berjanjian dengan Dea untuk mengurusnya bersama, dibantu oleh ibunya Dea. Bundanya terlalu sibuk mengurus Dara hingga tidak ada waktu dan sisa tenaga untuk membantu Rara. Sementara ayahnya, hanya memberikan sejumlah uang untuk keperluan seperti ongkos pulang-pergi, fotocopy, print, dan lain sebagainya.

Malam ini, Rara sedang berkumpul dengan bundanya, ayahnya, dan Dara di ruang televisi, ruangan khusus berkumpulnya keluarga kecil itu. Bundanya sibuk dengan jamuan keluarganya, diantarnya yaitu beberapa buah-buahan yang baru saja dibeli sore sebelumnya, ada apel, mangga, dan semangka bulat utuh untuk bagian besok siang. Ayahnya sibuk menikmati tayangan ulang sepak bola yang entah sudah berapa kali tersiar di televisi, namun tidak pernah membuat bosan sang penikmat meski pun hasil akhir dari pertandingan sudah diketahui. Rara asyik bermain, berpikir memecahkan masalah pada puzle bersama Dara. Beberapa potongan puzle berceceran akibat ulah atraktif Dara, dan membuat Rara semakin pusing karena harus mencari potongan puzle yang bersembunyi dari pandangannya.

Malam ini tidak pertengkaran yang melelahkan fisik dan batin seperti hari-hari lalu. Keadaan sungguh hangat, penuh kerukunan, dan sangat tenang, seperti tenangnya lautan yang disinari cahaya rembulan, sangat indah.

“Besok kita ke Rumah Bibi Ira,” ucap ayah Rara tanpa memalingkan pandangannya dan pikirannya dari televisi yang begitu gaduh. Kemudian mulutnya meracau kritikan kepada pemain sepak bola yang ada di dalam televisi.

“Tumben banget ayah ngajak ke sana. Ada apa, yah? Bibi Ira dan keluarganya sehat-sehat saja bukan?” tanya bunda Rara dengan tangan yang masih sibuk mengupas kulit mangga. Sementara itu, potongan buah apel sudah tersusun sedemikian rupa, dan beberapa potongnya sudah masuk ke dalam pencernaan salah satu anggota keluarga kecil itu.

“Bibi Ira dan keluarga sehat, bun, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Ayah hanya berpikir kita sudah lama nggak berkunjung ke sana, dan waktunya pas sekali dengan waktu liburnya anak-anak, nggak ada salahnya bukan kalau kita berkunjung ke sana hanya untuk bersilahturahmi? Hitung-hitung kita sekeluarga sekalian refreshing di Bandung, menjernihkan pikiran kita dengan udara Bandung.”

“Aye aye ke Bandung aye aye!” teriak Rara kegirangan, diikuti pula oleh Dara yang ikut bersorak hingga berlompat-lompat seperti anak kangguru dengan posisi kedua tangan diangkat ke atas kepala.

Keesokannya, keluarga kecil itu berangkat ke Bandung sejak pagi-pagi sekali, ketika matahari belum menampakkan dirinya, menghindari kemacetan yang selalu menjadi cerita perjalanan ke Bandung di hari weekend. Rencana hanyalah rencana yang tidak selalu sesuai harapan, berat hati keluarga kecil itu harus berlapang menerima kemacetan yang sudah terjadi di beberapa titik. Perjalanan yang sudah dibayangkan akan menyenangkan pun memudar, tergantikan dengan perjalanan yang sangat membosankan dan melelahkan fisik maupun batin.

Dara sangat rewel, sedari tadi menangis karena ia bosan dan merasa ruang geraknya sangat terbatas. Rara yang bersikap tak acuh lebih memilih untuk berpura-pura tidur agar bundanya tidak melibatkannya dalam kesulitan itu. Sampailah mereka di gerbang tol pasteur, dan keadaan di luar tol pun sama padatnya dengan yang di dalam tol. Bunyi klakson terdengar dari berbagai sisi hingga mengganggu pendengaran. Rasa sabar yang memiliki batasan itu, rupanya sudah jauh melebihi batasan yang sudah ditentukan sehingga dari masing-masing orang pun mengendarai kendaraannya dengan sesuka hatinya. Ruas jalan yang begitu padat, yang seharusnya teratasi, justru makin menumpuk tidak karuan, bahkan ada pula mobil yang berisikan pengendara berhati dingin memakan dua ruas jalan sekaligus.

Setelah bersabar berjam-jam berkendara di tengah kepadatan, keluarga kecil itu berhasil merelakan kemacetan yang dilaluinya. Mereka sampai di Rumah bibi Ira dengan perasaan yang bercampur, kesal, lelah, senang, semua menyatu padu hingga si perasa bingung harus bersikap bagaimana. Namun, hangatnya dekapan yang sudah sangat lama dirindukan itu menghapus segala rasa kesal dan lelah, tersisa perasaan senang yang merajai diri dengan ketamakannya.

“Ya ampun Riza sudah lama sekali!” seru bibi Ira, adik ayah Rara, sambil merentangkan kedua tangannya siap untuk menangkap tubuh hangat penuh lelah sang kakak. “Ada angin apa tiba-tiba kemari?” lanjutnya penuh penasaran dengan kehadiran kakaknya yang tidak direncanakan jauh-jauh hari.

“Kemarin di sekeliling rumah melintas angin kerinduan memanggil-manggil namamu, ra,” balas sang kakak dengan nada menyesuaikan seorang penyair profesional. Bibi Ira bergidik ngeri mendengar jawaban sang kakak, bulu-bulu di sekujur tubuhnya ikut berdiri karena ucapan sang kakak sangat menggelikan.

Bibi Ira adalah adik satu-satunya yang dimiliki oleh ayah Rara. Terakhir mereka bertemu ketika perhelatan acara pernikahan bibi Ira dengan suaminya di Lampung, kota kelahiran mereka. Kesibukkan ibukota yang terlalu menguras tenaga membuat keduanya sulit untuk bertemu, seolah-olah ada pembatas menjulang tinggi yang menghalangi antara Jakarta dan Bandung. Berbeda dengan sang kakak yang lebih memilih mencari nafkah di ibukota yang sesak dan membakar jiwa, bibi Ira lebih memilih untuk tinggal sekaligus berkebun di Bandung, menikmati indahnya pemandangan dan sejuknya cuaca Bandung tanpa perlu merasakan sesak dan kepulan asap kendaraan yang merusak pernapasan.

Sebelum menikah, bibi Ira sempat merasakan kehidupan di ibukota biarpun hanya sebentar, sekitar satu tahun. Bukannya nyaman yang ia dapatkan, justru ia merasa kapok tinggal di sana dan bersumpah tidak akan pernah tinggal di sana lagi biarpun hanya sehari. Menurutnya Jakarta sangat sibuk, padat, dimana-mana asap kendaraan, dan sangat berisik, sangat berbeda dengan suasana Bandung yang saat ini ia dapatkan. Tetapi, akhir-akhir ini Bandung mulai terlihat ramai dan padat. Mungkin, suatu saat nanti jika Bandung benar-benar menjadi padat seperti Jakarta ia akan memutuskan untuk pindah mencari tempat lain yang tidak terlalu padat dan berisik karena klakson kendaraan yang tidak sabar.

Beruntungnya bibi Ira bertemu dengan suaminya. Ia merasa pertemuan dan keputusan menikahi suaminya itu adalah hal yang sangat tepat ia ambil selama sepanjang hidupnya. Suaminya sudah lama tinggal di Bandung mengurus perkebunan orang lain, tentunya ada bayaran yang sepadan dengan pekerjaannya saat itu. Saat itu, sebelum sah dinyatakan sebagai suaminya, ia berpapasan di sebuah toko buah langganannya. Tidak biasanya ia datang di saat buah-buah di toko itu baru saja diantar oleh pemasoknya. Dan saat itulah kejadian romantis berlangsung, walaupun sangat singkat tetapi sangat mendebarkan hati. Kemudian kisah singkat itu berlanjut dengan makan siang bersama, saling berkenalan, mengobrol, seperti kawan lama yang baru bertemu. Belum lama dari kejadian itu, mungkin sekitar empat bulan, laki-laki yang saat ini menjadi suaminya melamarnya dengan sederhana, ia lantas memberanikan diri untuk menerima lamaran suaminya itu. Tidak ada cincin berlian dalam lamaran itu. Tidak ada pula sebaket bunga-bunga cantik seperti di drama korea, yang ada hanyalah tutur kata pinangan yang menggetarkan jiwa kedua insan itu. Berkat itulah ia berhasil meloloskan diri dari kepadatan kota Jakarta.

“Ayo silahkan masuk!” suara dalam yang dimiliki oleh suami bibi Ira membelah reuni menggelikan itu. Di depan pintu, Rara, bundanya, ayahnya, dan juga Dara saling menyapa Daniel, suami bibi Ira. Keadaan diantara lima orang itu begitu canggung, sebab sudah sangat lama mereka tidak bertemu dan berbincang ringan. Terlebih Dara yang hanya bersembunyi dibalik tubuh bundanya, karena merasa takut dengan Daniel yang memiliki tubuh besar tinggi dan suara dalam yang khas.

“Nggak apa-apa, nggak perlu takut, ra, ini om kamu. Panggil om Daniel,” rayu bundanya sambil memeragakan cara memanggil seseorang dengan benar agar keberanian Dara bangkit dari persembunyiannya.

“Om Daniel,” ucap Dara dengan suara yang sangat pelan, bahkan nyaris tidak terdengar. Seluruh orang di sana bersenang hati setelah Dara berhasil melontarkan panggilannya, seolah-olah pandangan mereka mendapati seorang bayi yang baru bisa berjalan.

Pandangan mereka kembali dikejutkan dengan kehadiran sosok anak kecil yang menggelayut di kaki om Daniel, tinggi tubuhnya tidak berbeda jauh dengan Dara hanya saja lebih pendek beberapa senti, kulitnya putih bersih menandakan bahwa anak itu sangat terawat dengan sangat baik, rambutnya hitam tebal sedikit ikal persis seperti rambut om Daniel, anak itu adalah Nathan, putra satu-satunya bibi Ira dan om Daniel. Rupanya sangat menyerupai om Daniel, orang-orang bisa mengira bahwa Nathan adalah versi kecilnya om Daniel, mungkin.

Usai acara menyapa, Rara, bundanya, ayahnya, dan Dara dipersilahkan masuk ke dalam rumah bibi Ira. Rumahnya tidak terlalu besar, namun tidak terlalu kecil pula. Di belakang rumah ada perkebunan yang sangat luas. Luasnya melebihi dua kali lipatnya luas rumah. Di balik perkebunan itu terlukis deretan pegunungan dengan kabut tipisnya menambah keindahan rumah itu.

Rara, bundanya, ayahnya, dan Dara sampai di Rumah bibi Ira tepat pada saat jam makan siang. Lantas bibi Ira menjamu tamu-tamu jauhnya itu dengan hidangan berat sederhana yang menggoda selera. Di meja makan sudah tersusun dengan sangat rapih, seakan-akan makanan-makanan itu ditata oleh tangan seorang profesional penata meja makan, ada ayam goreng, tahu, tempe, sambal, dan tidak ketinggalan lalapan.

“Ayo silahkan kita makan siang dulu, jangan sungkan anggap saja seperti di Rumah sendiri. Pas sekali kalian datang saat jam makan siang, ayamnya juga baru saja diangkat tadi, hati-hati masih panas,” ajak bibi Ira mempersilahkan keempat tamunya untuk menikmati hidangan sederhana keluarganya dengan keramahan hati yang menjadi kekuatannya.

Kegiatan santap siang ditutup dengan kopi hangat dan bincang-bincang ringan di tengah sejuknya cuaca Bandung. Rara, Dara, dan Nathan pergi ke perkebunan ditemani bibi Ira. Sudah sejak tadi Rara begitu penasaran dengan perkebunan milik bibi Ira, dari kejauhan perkebunan itu terlihat indah memanjakan mata. Di perkebunan itu, tidak hanya buah-buahan dan sayur-sayuran yang ditanam, ada juga berbagai ragam bunga warna-warni dan juga serangga-serangga liar yang berkunjung karena tidak kalah penasarannya dengan Rara.

Bibi Ira merawat perkebunan ini dibantu oleh dua orang pekerja, dan tentunya kedua pekerja itu sangat memahami perihal tanam menanam tumbuhan. Kedua pekerja itu sama ramahnya dengan bibi Ira. Mereka menyambut baik kehadiran Rara dan Dara, pengunjung baru mereka. Kedua pekerja itu adalah seorang perempuan, wajah keduanya terlihat masih muda, namun pakaian keduanya terlihat asal-asalan sehingga memberikan kesan tua untuk keduanya. Mungkin dalam pikiran kedua pekerja itu yang terpenting dirinya menggunakan pakaian dibandingkan tidak, pemikiran jarang yang dimiliki orang-orang di masa kini.

Pekerja yang pertama bernama Wulan, dan pekerja yang kedua bernama Indri. Keduanya asli orang Bandung, bukan perantau dari pulau sebrang seperti bibi Ira. Keduanya sangat mengenal baik daerah Bandung, baik itu perkotaan maupun pedesaan yang jauh dari kota. Sejak lulus SMA keduanya sudah mantap menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi di perkebunan seseorang. Walaupun tidak jarang mereka bertemu dengan pemilik perkebunan yang kurang baik, dan memberikan upah yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan.

Lihat selengkapnya