Rara

Hai Ra
Chapter #10

Bagian 10: Hubungan dengan Ayah

Panjang masa libur yang istimewa itu sudah berlalu tanpa memberikan ucapan perpisahan satu patah kata pun. Rara kembali disibukkan dengan segala urusan sekolahnya. Sebelum memulai kehidupan sekolah sebagai anak SMP, Rara terlebihdahulu melewati masa-masa pengenalan yang sangat umum dilakukan di sekolah menengah, baik itu menengah pertama maupun menengah akhir.

Segala bentuk perpeloncoan diberlakukan pada masa-masa itu. Entah apa tujuan pastinya diadakan perpeloncoan itu. Banyak yang bilang perpeloncoan itu ditujukan untuk melatih mental adik kelasnya, tetapi sepertinya tidak semua bentuk perpeloncoan ditujukan untuk itu. Tidak jarang dari beberapa pihak memanfaatkan kesempatan itu, dan tanpa disadari memicu terjadinya pembulian. Tidak jarang pula terjadi kekerasan pada masa itu akibat lengahnya pengawasan guru-guru. Jika keadaan buruk sudah terjadi, bahkan lebih buruk dari yang dibayangkan, para pembuat onar itu akan pergi meninggalkan luka hebat kepada si penerimanya, sungguh sangat jahat.

Masa-masa perpeloncoan yang melelahkan fisik dan batin itu sudah berlalu. Beruntungnya di Sekolah baru Rara, perpeloncoan masih tergolong wajar. Di saat masa-masa itu Rara bertemu dengan teman-teman barunya. Tidak ada Dea, sahabat karibnya semasa sekolah dasar di Sekolah itu. Dea dan keluarganya memutuskan untuk pindah dari Jakarta ke kota lain yang Rara sendiri tidak tahu betul apa nama kota itu karena namanya terdengar asing untuk Rara. Saat Rara mendengar kabar kepindahan itu, Rara merasa sangat sedih. Dirinya merasakan rasa kehilangan teman baik untuk kedua kalinya. Entah mengapa pertemuan yang singkat begitu baik hati mendatangi Rara, menyapanya begitu ramah, memberikan senyuman terbaiknya, dan memberikan perlakuan menghangatkan seolah ia adalah sahabat sejatinya. Setelah itu, ia pergi menjauh dengan jejak-jejak yang perlahan memudar hingga akhirnya menghilang tertiup angin menyatu dengan udara.

Di Sekolah barunya, Rara bertemu dengan Anya, Hanin, dan Kia, merekalah yang mengisi kebahagiaan di hari-hari masa menengah pertamanya. Takdir sepertinya sangat berbaik hati kepadanya, di Sekolah barunya ia bertemu dengan Kia, temannya di masa kanak-kanaknya. Biar pun Rara dulu sempat menyimpan dendam terhadap Kia, karena tidak hadir ke pesta ulang tahunnya, saat ini ia menganggap dendam itu hanyalah sebagai dendam anak kecil yang tidak bersungguh-sungguh dengan perasaannya. Tentunya pertemuan keduanya dengan Kia saat ini membuka mata hatinya jauh dalam mengenai Kia, dan menyadarkan dirinya bahwa penilaiannya terhadap Kia yang sudah lalu adalah sebuah kesalahan.

Kia tidak seburuk yang ia bayangkan, dan tidak seegois yang ia pikirkan dulu. Kejadian demi kejadian yang dialaminya bersama Kia baru-baru ini, semakin menyadarkannya bahwa dirinya jauh lebih egois dibanding siapa pun. Salah satu keegoisan yang diingatnya jelas yaitu ketika ingatannya kembali ke saat pesta ulang tahunnya dulu, saat itu ia memaksakan teman-temannya yang berhalangan hadir untuk bisa hadir menyempatkan diri untuknya. Walaupun pemaksaan itu tidak diucapkannya secara terang-terangan, dan dengan mudahnya melabeli teman-temannya pembohong, ingkar, bahkan hingga tidak menganggap yang lain sebagai temannya, kecuali Sena.

Rara bertemu Anya ketika di hari pertama masuk sekolah. Saat itu Anya hanya duduk tertunduk sendiri. Sesekali menengok kanan-kiri sekadar melihat situasi sekitarnya. Begitu ramai, ricuh, dan kikuk. Ia hanya berdiam diri dalam keramaian itu, menunggu seseorang yang berbaik hati menawarkan pertemanan kepadanya. Penawaran itu datang ketika Rara memutuskan untuk duduk di samping Anya. Mulanya keduanya hanya diam, keadaan sangat canggung, mulut rasanya begitu gatal ingin berbicara, namun pikiran sibuk berputar-putar mengelilingi ruang kepala yang kosong. Sampai pada akhirnya secara alamiah pembicaraan mereka terjadi ketika seseorang tidak sengaja menyenggol bahu Anya dengan begitu kasar.

“Aw sakit!” Anya mengeluhkan rasa sakit di bahunya. Wajahnya mengerut menahan rasa sakit itu, dan tangannya mengusap-usap mengusir rasa sakit yang singgah di bahunya.

“Kamu nggak apa-apa?” lantas Rara bertanya kepada Anya tentang kondisi bahunya. Entah mengapa gadis itu mudah sekali merasa khawatir dengan orang-orang di sekitarnya, seolah ia memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi dibandingkan makhluk lain di muka bumi.

“Nggak apa-apa,” jawab Anya singkat, lalu kembali kepada posisi diamnya.

“Namamu siapa? Perkenalkan aku Rara,” setelah itu pembicaraan kedua anak gadis itu mengalir seperti air yang mengalir menuju muara. Pembawaan Rara yang sangat ramah dan jiwanya yang sangat terbuka membuat orang baru yang diajaknya berbicara merasa nyaman dengannya, dan rasanya pembicaraan satu topik masalah dinggap sangat kurang memuaskan hati.

Lihat selengkapnya