Musim penghujan kembali datang. Sudah sejak tengah malam hujan turun terus-menerus, dan ketika pagi sudah datang pun belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Matahari pun enggan bersinar, ikut merasa terlena dengan kenikmatan cuaca pagi hari ini, mungkin. Cuaca pagi ini begitu dingin dari biasanya. Kebanyakan dari orang-orang akan bermalas-malasan dan rela menunda kegiatan paginya demi menikmati kenikmatan yang sangat jarang dirasakan. Dibutuhkan kekuatan lebih dan tekad bulat untuk bisa mengalahkan godaan kenikmatan yang ditawarkan oleh selimut tebal dan ranjang kesayangan. Sama halnya dengan pasangan kakak beradik yang sedari subuh tadi sangat sulit dibangunkan, karena lebih memilih kalah dari godaan selimut tebal dan ranjang kesayangannya itu.
“Dara! Rara! Cepat bangun!” sang ibu bijaksana tidak bosan-bosannya membangunkan kedua putrinya yang semakin hari semakin membesar. Entah bagaimana cara kerja waktu, tanpa memberikan aba-aba yang jelas segala perubahan-perubahan dalam hidup terjadi dengan begitu saja, dan akan baru terlihat ketika sudah berjalan jauh.
Dara sudah memasuki usia sekolah dasar, dan Rara masih tetap pada usia menengah pertamanya. Namun, pertumbuhan keduanya berjalan secara berbeda, entah Rara tumbuh atau tidak yang jelas besar tubuh keduanya tidak berbeda jauh. Tentu saja tubuh Rara masih terlihat lebih besar dibanding Dara, tetapi siapa yang akan tahu bahwa selisih usia keduanya ternyata cukup jauh, dan besar kecilnya fisik itu tidak menjamin pembenaran selisih usia yang sebenarnya.
“Lima menit lagi, bun,”
“Ini sudah lebih dari lima menit pertamamu. Cepat bangun atau kamu akan telat!”
“Sepertinya telat adalah ide yang bagus,” Rara kembali melemparkan tubuhnya ke ranjangnya dan kembali memejamkan matanya. Namun, bundanya yang begitu cekatan segera menahan tubuh malasnya dengan menarik salah satu lengan Rara dengan paksa.
Di ruang sebelah, Dara sudah duduk termenung mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang masih mengawang di alam mimpi. Berbeda dengan Rara yang memiliki banyak penawaran, Dara lantas menuruti apa pun perintah yang diberikan oleh bundanya. Di usia labilnya saat ini, Rara sering kali menunjukkan beberapa sikap pemberontakkan yang kerap kali dilakukan oleh anak remaja. Sederhananya, terkadang ia menyepelekan nasihat bundanya dan menganggap dirinyalah yang paling benar. Jika sudah seperti itu, bundanya membiarkannya hingga Rara menyadari sendiri akibat dari perbuatannya. Bukan perbuatan yang terlewat sangat buruk yang dilakukan Rara, sebagai anak yang setengah patuh dan setengah tidak, Rara tetaplah anak baik yang tidak terlampau batasan dan berbuat kesalahan sewajarnya.
Sebagai sepasang kakak beradik, tentunya hubungan keduanya tidaklah selalu akur. Masalah sekecil apa pun bisa menjadi sumber mula keributan dimulai, begitu pun sebaliknya masalah sebesar apa pun bisa menjadi penyatu keduanya. Keduanya terlihat lucu ketika keakraban mendatangi mereka, orang-orang di sekitar pun dibuat heran karenanya. Namun, ketika keributan mereka datang, orang-orang di sekitarnya dibuat ikut merasa jengkel karenanya, dan tanpa disadari ikut masuk ke dalam keributan itu.
Pagi ini, keributan kecil dimulai. Keributan itu bermula ketika Dara mengusili kakaknya ketika sarapan. Ia menggoyang-goyangkan kakinya ke kanan dan ke kiri dan dengan sengaja mengenai kaki sang kakak yang duduk berdampingan dengannya. Rara yang merasa terganggu dengan sikap jahil sang adik pun memberikan perlawanannya. Tanpa sadar ia mencubit pipi gembul sang adik dengan begitu keras hingga meninggalkan bekas merah di pipi, dan Dara pun menangis karena kesakitan.
“Bunda kak yaya jahat,” adunya kepada sang bunda dengan memberikan label ‘jahat’ kepada sang kakak. Sang kakak yang merasa sangat tidak setuju pun memberikan pembelaannya dengan lantang.
“Dara duluan, bun, yang nendang-nendang kaki rara!”
“Sudah sudah, ini masih pagi jangan ribut. Seharusnya kamu jangan cubit pipi adikmu keras-keras, ra. Kasihan adikmu,” Rara yang merasa disalahkan pun merasa kesal dan tidak mengacuhkan nasihat bundanya. Sementara Dara, memperlihatkan raut kemenangannya dengan menjulurkan ujung lidahnya, seolah meledek kakaknya atas pembelaan bundanya. Rara tidak memberikan perlawanan lagi, karena sangat mustahil ia mendapat pembenaran bundanya.
Sepasang kakak beradik itu berangkat ke Sekolah, diantar oleh tukang ojek yang sama. Keadaan menjadi akrab kembali, dan keributan yang sebelumnya terjadi, sudah terlupakan, bahkan sepertinya mereka tidak menganggap itu sebagai keributan karena sudah terlalu wajar dialami. Kepergian kedua gadis bertingkah itu meninggalkan perasaan tenang kepada sang pelerai, sehingga rumah pun menjadi terasa nyaman untuk ditinggali.
Ketenangan itu tidak berlanjut lama. Keramaian yang sangat dihindari, kembali menghiasi rumah ketika Rara dan Dara pulang dari Sekolah. Entah keributan melelahkan atau keakraban menghangatkan dari sepasang kakak beradik yang akan terjadi pada siang hari itu. Seluruh penonton setia telah menantikan pertunjukkan selanjutnya dari penampilan sepasang kakak beradik itu.