Rara

Hai Ra
Chapter #12

Bagian 12: Selamat Hari Bunda!

Lusa bertepatan dengan hari ibu, dan pada hari itu juga bunda Rara merayakan hari kelahirannya. Mungkin, untuk dirinya merayakan ulang tahun di usianya yang sudah semakin tua, bukanlah suatu kepentingan yang harus dilakukan, bersyukur telah diberikan usia yang panjang sudah cukup baginya untuk dilakukan. Semakin bertambahnya usia menyadarkan dirinya bahwa perayaan penambahan usia tidak wajib dilakukan, ada banyak hal lain yang jauh lebih penting dari sebuah perayaan. Seperti halnya mengoreksi diri, baik maupun buruk segala yang telah dilakukan setahun kebelakang, merancang impian-impian baru, dan segala hal baru yang perlu dilakukan sebagai kemajuan diri sendiri dan orang-orang yang disayangnya. 

Mungkin, beberapa orang di luar sana ada yang tidak satu pendapat, dan mengatakan perayaan penambahan usia merupakan sesuatu yang wajib dilakukan, karena dianggap sebagai ucapan syukur atas diberikannya usianya yang panjang. Lalu pernahkah terpikirkan mengapa kita selalu mendoakan seseorang yang berulang tahun agar panjang usianya? Sebenarnya jika diperjelas lagi, bukankah semakin usia kita bertambah, semakin banyak perayaan bertambahnya usia, maka semakin dekat juga kita dengan perpisahan memilukan yang enggan dilalui oleh setiap manusia. Lalu apa sebenarnya makna dari balik doa ‘semoga diberikan usia yang panjang’? Apakah hanya sebagai kata penghibur ditengah kebahagiaan yang sementara? Agar sejenak bisa melupakan akhir untuk bertemu dengan perjalanan yang selanjutnya.

Hari ini hujan kembali turun meramaikan dunia yang sudah ramai dengan berbagai masalah. Sama halnya dengan masalah yang sedang dihadapi oleh seorang ibu dengan putri pertamanya. Sejak beberapa hari ini, tempramen Rara mulai menunjukkan ketidakstabilannya. Perkataan orang lain yang sedikit saja tidak disukainya, lantas menyinggung batinnya dan akhirnya menimbulkan perselisihan dan kesalahpahaman tidak berujung dengan orang-orang terdekatnya. Tidak terkecuali dengan bundanya yang selalu memberikan perkataan menenangkan kepada orang-orang yang disayangnya.

“Bunda, lebih sayang ke Dara bukan? Makanya, bunda, selalu menyalahkan Rara!” teriak gadis remaja labil itu begitu kasar kepada ibu kandungnya.

Tentu saja perkataan itu menyakiti hati sang ibu. Bagaimana tidak, anak kandungnya memikirkan hal buruk tentang dirinya. Padahal ucapannya tidaklah benar. Seorang ibu mana pun tidak mungkin menaruh kasih sayang lebihnya kepada anaknya yang lain. Menurutnya, ia sudah berusaha memberikan kasih sayang itu secara merata agar kedua putrinya tidak merasa kekurangan kasih sayang, bahkan sekecil kacang polong. Namun, yang ia dapatkan hari ini sungguh diluar dugaan dan langsung menembus hati hangatnya.

Rara tidak pernah mengucapkan perkataan itu sebelumnya. Hari ini perkataan itu keluar dengan begitu yakin, seolah-olah sang pelontar sudah merasa jenuh dengan keluhannya yang disimpan sejak lama. Bundanya yang berdiri dihadapannya hanya bisa menerka-nerka maksud dari ucapan anak perempuannya. Pikirannya saat ini menjadi begitu kacau, dirinya begitu gundah. Air mata tidak sanggup lagi menetap di dalam, karena rasanya begitu panas membakar sampai pada akhirnya tidak bisa lagi dijadikan sebagai tempat tinggal kumpulan air.

Tidak lama, ayahnya hadir bergabung dalam perselisihan itu dan menambah beban masalah. Kesalahpahaman semakin membulat besar ditengah ketiganya, hingga membuat batasan hubungan ketiganya. Kesalahpahaman berlanjut begitu lama, sebab ketiga orang yang sedang berselisih itu tidak ada yang mau mengalah dan mendengarkan dengan bijak. Emosi yang membara dirasa pantas untuk dijadikan pendengar baik, dan lontaran perkataan buruk dirasa pantas untuk menyadarkan kewarasan. Tidak ada titik temu yang dapat dijumpai, yang ada hanyalah titik pisah yang sedari tadi sudah tidak sabar menantikan kedatangan ketiga orang itu.

“Bunda, ayah, kak yaya, Dara takut,” seorang anak perempuan yang berada di usia awal sekolah dasar itu menangis melihat perselisihan hebat itu.

Hari ini sangat kacau. Sama kacaunya dengan suasana di luar. Hujan turun dengan sangat besar, disambut pula oleh sautan kilat dan petir yang sama tidak mau kalahnya, seolah menyatu dengan perselisihan yang tengah terjadi pada keluarga kecil itu. Tidak ada seorang pun yang mampu membawa kedamaian. Jantung keluarga itu sedang merasa hancur, terpuruk, dan merasakan kegagalan besar yang sangat menyayat hatinya. Ia hanya bisa menangis, meratapi, dan menerka-nerka apa kesalahannya hingga membuat putrinya mengatakan hal buruk tentangnya.

Rara kemudian pergi, berharap bisa menemukan perlindungan lain di kamarnya. Dari luar ruangan, masih terdengar jelas ceracau pedas ayahnya terhadap dirinya. Pun dengan isak tangis bundanya dan Dara yang merasa ketakutan setengah mati. Rara menangis dalam kesendiriannya. Amarah, penyesalan, kebencian bersorai di atas penderitaannya.  

Rara merasa begitu kesepian. Ia merasa dirinya telah kehilangan tempat bergantungnya. Dalam keadaan seperti ini merasa kesepian wajar dialami setiap orang. Gadis bodoh dan polos itu dengan ringannya menerima tawaran permusuhan dari dalam kegelapan dirinya. Andai saja ia bersikap sedikit lebih cerdas dan logis pertengkaran sepele itu, mungkin tidak akan membesar.

Pertengkaran hebat ini hanya berasal dari kesalahpahaman Rara, dan ketidakmauan Rara untuk lebih memahami orang-orang disekitarnya. Menurutnya, apa yang ia lihat, itulah yang dirasakan orang lain disekitarnya. Tidak ada sedikit pun keinginan dari dalam dirinya untuk melihatnya lebih dalam.

Mulanya, ia merasa cemburu dengan perhatian yang diberikan bundanya kepada Dara. Menurutnya, bundanya menaruh perhatian lebih kepada Dara dibanding dirinya. Terlebih akhir-akhir ini, ia mulai jarang mendapatkan pertolongan bundanya di saat menemukan kesulitan. Ia merasa bundanya telah berpaling darinya, dan lebih mementingkan kepentingan Dara. Ditambah lagi, bundanya lebih sering menyebut nama Dara ketimbang dirinya. Itu membuatnya semakin cemburu, dan beranggapan bahwa bundanya menaruh kasih sayang lebih kepada Dara.

Hingga malam datang, tidak ada seorang pun yang mau melemahkan keras hatinya. Tidak ada kumpul malam hari itu. kegiatan kumpul malam belakangan ini sudah mulai jarang dilakukan, karena merasa diri masing-masing sangat sibuk sehingga melupakan acara sederhana, namun penting. Begitu pun acara santap malam mulai berkurang intensitasnya. Malam itu berakhir dengan kecanggungan yang tidak lantas menunjukkan kehangatan layaknya keluarga. Keempat anggota keluarga itu pergi tidur ditengah keadaan setengah buruk. Tidak ada seorang pun yang memiliki keberanian untuk membuka lembar peyelesaian masalah itu dengan tuntas.

Keesokannya, Rara pergi ke Sekolah tanpa berpamitan kepada bundanya. Ayahnya, pagi itu sudah tidak terlihat di matanya. Butuh waktu baginya untuk mengembalikan dirinya menjadi Rara yang baik, ceria, dan penyayang. Begitu pun dengan bundanya yang lantas menghindar dari Rara, karena merasa bersalah atas kekurangannya terhadap Rara. Akibat pertengkaran kemarin, ia merasa sudah gagal menjadi ibu untuk anak-anaknya. Keadaannya sangat buruk, ia merasa sangat terpukul setelah mendengar ucapan tajam Rara. Sama halnya dengan Rara, ia juga membutuhkan waktu untuk bisa menghidupkan lagi jiwa dalam keluarga itu. Sangat berat memang tugasnya, terlebih keadaan hatinya saat ini sedang remuk, dan bila kekuatan tidak lagi memihaknya, hatinya akan hancur berceceran hingga menusukki segala organ ditubuhnya.

Di sekolah hati Rara merasa sangat gundah. Ia merasa seperti ada batu besar yang mengganjal hatinya. Sangat tidak membuat nyaman, dan berat untuk dirasakan. Entah apakah mungkin perasaan gusar itu adalah rasa penyesalannya yang sebelumnya bersembunyi dibalik keras hatinya. Atau mungkin itu sejenis perasaan lain, semacam perasaan kesal yang terlalu matang akibat direbus terlalu lama. Sulit baginya mengakui perselisihan kemarin adalah kesalahan dirinya. Saat ini ia masih tetap dengan pendiriannya bahwa ia tidak merasa bersalah sedikit pun, dan ia merasa pantas mendapatkan ucapan ‘maaf’ dari orang-orang yang disakitinya.

Segala urusan yang seharusnya berjalan baik di Sekolah, tidak bisa Rara tuntaskan dengan baik. segala sesuatunya berjalan berantakan, tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan pagi sebelumnya. Menurutnya, pergi ke Sekolah lalu bertemu teman-teman, mengobrol, bersendau gurau adalah sebuah jalan baginya untuk bisa keluar dari perselisihan yang ditimbulkannya, merasa kembali ceria, bahagia, namun ternyata tidak. Seharian itu batinnya diusik oleh semacam perasaan yang sama ketika setibanya ia di Sekolah. Ia mengira perasaan gusar itu akan hilang dengan sendirinya, terhapus oleh kebersamaannya dengan teman-temannya. Namun, kenyataan berkata lain, perasaannya bertambah gusar, ketika diajak berbicara pun ia tidak bisa menjawabnya dengan selaras, makanan di kantin tidak lagi menggoda baginya, jam pelajaran menjadi jauh lebih membosankan daripada biasanya, dan kemudian hari melelahkan itu ditutup dengan kepala yang terasa sakit berdenyut-denyut hingga membuatnya kehilangan sebagian tenaganya.

“Ra, kamu sakit?” tanya Anya. Ia memiliki kepekaan yang lebih tinggi dibandingkan Kia dan Hanin.

“Aku nggak sakit, nya.”

Tubuhnya memang tidak merasakan sakit, tetapi hatinya merasakan rasa sakit. Rara begitu angkuh untuk mau mengakui rasa sakit, dan penyesalan yang ia derita, hingga akhirnya tanpa sadar ia menyakiti dirinya sendiri, bukan hanya orang-orang terdekatnya. Benar-benar gadis bodoh pemikiran sempit.

Sepulang sekolah, Rara lantas melarikan dirinya ke tempat ternyamannya, tidak lain dan bukan ialah kamarnya, tempatnya berlindung dari perselisihan yang dihindarinya. Segera ia merebahkan tubuh lemasnya itu, kemudian tertidur dengan keadaan perut menahan lapar. Kemudian tidak lama dari itu, Dara datang menghampirinya lalu membangunkannya untuk mengajak makan bersama. Sudah sejak sepulang sekolah ia menahan rasa laparnya hanya demi bisa makan bersama kakaknya. Namun, yang ia dapatkan saat ini seseorang yang ditunggunya sedang tertidur lelap melupakan rasa lapar yang sangat menyiksa cacing-cacing di perutnya.

“Bun, kak yaya tidur,” ia tidak berani membangunkan kakaknya. Ingatannya masih mengingat jelas bagaimana sangarnya sang kakak kemarin.

Sebab tidak mungkin ia menunggu sang kakak terbangun, dan perut sudah terasa perih hingga pening ke kepala, Dara memutuskan untuk makan mendahului sang kakak. Dibalik keinginannya makan bersama sang kakak, sebenarnya ia memiliki maksud lain, maksud untuk mendamaikan lagi hubungan bundanya dengan kakaknya, pun dengan ayahnya yang sampai siang menjelang sore ini belum nampak juga batang hidungnya.

Gadis kecil nan cerdas itu merasa sedikit kecewa, sebab rencananya tidak berjalan sesuai keinginannya. Ia sangat menginginkan keadaan kembali seperti semula. Tinggal di sebuah rumah dengan keadaan canggung seperti ini sangatlah tidak nyaman, dan rasanya bukan seperti rumah, hanya sekadar tempat singgah untuk makan dan tidur. Bahkan sepertinya untuk makan pun sama canggungnya dengan tinggal.

Lihat selengkapnya