Rara

Hai Ra
Chapter #13

Bagian 13: Kembali


Kejadian baik kembali datang bergiliran menghibur setiap hati yang dipenuhi lara. Tentu saja kedatangan itu disambut baik oleh sang perasa, hingga menghidupi kembali makhluk-makhluk kesepian yang bersembunyi di balik tawa. Memang sudah seharusnya tawa dijadikan sebagai tameng, dan memang sudah seharusnya rintik dijadikan sebagai sandera, dan memang sudah seharusnya seseorang lihai menipu agar yang lain jatuh iri kepada siapa pun yang hidupnya sangat nampak indah untuk dijalani.

Sang mentari masih setia dengan tugasnya, menyinari bumi dan memberikan kehidupan kepada semua makhluk di bawahnya. Ia datang dengan membawa kabar-kabar baik dan buruk yang ingin dijumpai dan tidak dijumpai oleh sang penerima kabar. Beriringan pula dengan cerita-cerita baru yang sudah dinantikan kehadirannya oleh sang penikmat panggung kehidupan.

Hari ini Rara izin tidak masuk sekolah. Dirinya jatuh sakit sebab semalaman menikmati kegembiraan di bawah rintik hujan yang memanjakan hati. Tubuhnya jatuh sakit saat pagi menjelang. Atau mungkin, sebenarnya bukan saat pagi menjelang, melainkan sudah sejak malam ketika dirinya asyik menikmati perasaan lelap yang menggelayut tenang. Tidak ada yang tahu pasti kapan penyakit itu datang merenggut sebagian tenaga miliknya. Yang diketahui pasti saat ini dirinya sangat merasa lemas, hampir tidak berdaya, dingin, walau sebenarnya tubuhnya mengatakan hal lain kepada yang melihat, dan sudah dapat dipastikan bahwa dirinya benar-benar jatuh sakit.

Malam sebelumnya, lebih jelasnya semalam, hujan turun dengan riangnya memanggil-manggil seorang anak gadis untuk ikut serta merayakan, dan menambahkan suasana riang itu. Tentu saja anak gadis yang sedang kosong itu merasa terpanggil, dan kemudian merajuk kepada bundanya demi bisa mengantongi kata ‘izin’ dari bundanya, dan kemudian datang memenuhi panggilan tak berkata itu. Anehnya, bundanya lantas memberikan kata ‘’izin’, sangat sesuai dengan keinginan keras sang anak, dikurangi pula perkataan lain yang tidak diinginkan. Sang adik yang sama kerasnya, ikut merajuk seolah-olah dirinya juga mendengar panggilan yang sama. Dan terjadilah tarian indah di bawah siraman air hujan, membangkitkan perasaan senang kepada dua orang yang sedang berjingkrak-jingkrak di atas genangan air yang tenang.

Rasa dingin semakin akrab dengan tubuh. Genggaman erat yang menjulur dari betis kaki hingga ke permukaan kaki semakin jelas untuk dirasakan. Telapak kaki yang mulai mengkerut sebab gigil tak kunjung mengeluarkan keluhannya, seolah-olah rasa dingin yang menusuk bukanlah apa-apa untuknya. Melainkan sebaliknya, untuknya apa-apa.

Bukan salah Rara jika dirinya sakit. Bukan juga salah bundanya yang mengizinkan dengan mudahnya. Bukan juga salah hujan yang turun semalam, karena ia hanya sekadar memenuhi tugas alam. Dan bukan juga salah Dara yang ikut turut bersenang-senang di bawah nyanyian hujan, yang ternyata dirinya tidak jatuh sakit seperti Rara. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam keadaan seperti ini, memang sudah kehendak-Nya Rara jatuh sakit hingga tidak hadir sekolah sehari.

Seharian ini tubuh Rara menggigil, dahinya terlalu panas hingga membuat spaneng orang-orang yang merawatnya. Bundanya mengajak Rara untuk pergi ke dokter, namun Rara menolak ajakan bundanya dengan berandai-andai penyakitnya akan pergi dengan sendirinya tanpa perlu turun tangan seorang profesional. Bundanya tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada putrinya yang keras kepala itu. Dan berlapang dada merawat putrinya hingga demam berhasil diusirnya.

Semakin malam mendekat, semakin sulit pula mengusir demam yang tidak kunjung berkeinginan untuk angkat kaki. Tubuh Rara semakin menggigil. Sesekali mulutnya meracau kata-kata yang tidak jelas maknanya. Hal itu membuat spaneng membesar, kekhawatiran melunjak, dan kebimbangan yang memperumit keadaan.

“Ra, kita ke dokter saja ya,” tidak terdengar jawaban penerimaan atau pun penolakan dari seorang gadis yang tengah tertidur. Gadis itu hanya meracaukan hal yang sama yang tidak bisa dimengerti oleh orang-orang yang mendengarnya.

“Sudah, bun, kita bawa saja Rara ke dokter. Ayah khawatir kalau kita menuruti keinginan anak itu demamnya nggak akan membaik.”

“Sebentar bunda ambilkan jaket Rara dulu.”

Bundanya memasangkan jaket tebal berwarna cream di tubuh Rara. Saat ini kondisi Rara setengah sadar. Ia bisa mendengar semua ucapan orang-orang sekitarnya, namun terlalu lemah untuk menjawabnya dengan lugas. Keras kepalanya itu membiarkan penyakitnya bertambah parah. Tanpa ia sadari tengah bersorak di atas penderitaannya. Obat-obatan warung yang telah ditelannya tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Efeknya hanya berlangsung sejenak setelah beberapa menit obat itu ditelan, lalu kembali penyakitnya itu kembali berjaya seolah-olah telah berhasil melumpuhkan lawan ringannya.

Malam ini tidak turun hujan seperti malam sebelumnya. Beberapa hari ini cuaca datang tidak menentu, bisa yang semula cerah kemudian tiba-tiba hujan, bisa yang semula hujan tiba-tiba cerah, bisa pula keduanya datang disaat bersamaan. Tidak hanya cuaca yang selalu datang tidak menentu, berbagai penyakit pancaroba pun iku berdatangan beriringan dengan perubahan cuaca. Tentu saja hal ini membuat beberapa orang lebih peduli dengan kesehatan tubuhnya hingga rela mengeluarkan lebih demi menambah asupan vitamin yang dijual di apotek-apotek terdekat.

Malam belum terlalu jatuh, keramaian masih setia menghibur malam sebelum menjelang kesunyian yang dipenuhi dengan rasa kesepian mencekik. Mobil hitam ayah Rara melaju dengan kecepatan sedang membelah ruas jalan yang setengah ramai. Di samping kursi pengemudi, duduk seorang gadis kecil sedang menikmati perjalan malam bermandikan sorot cahaya nan cantik dengan sepenggal perasaan sedih melihat kondisi sang kakak. Di belakang kursi pengemudi, duduk dua orang penumpang lain, yang satu tengah tertidur lelap, dan yang satu tengah menatap penumpang di sebelahnya dengan tatapan khawatir khas seorang ibu.

Mobil hitam itu tiba di sebuah klinik, ukuran cukup besar untuk dikatakan sebagai klinik, namun terlalu kecil untuk dikatakan sebagai rumah sakit. Jadi, sebut saja sebagai klinik seperti yang tertulis di plang depan gerbang. Bundanya lantas memapah tubuh putrinya yang tengah lemah akibat demam hebatnya yang tak kunjung membaik. Sang adik berjalan di belakangnya sambil membawa tas kecil milik bundanya. Sementara ayahnya, menyusul sebab harus memarkirkan mobilnya terlebihdahulu.

Sama seperti klinik lainnya, seorang pasien yang baru hadir tentu saja perlu mendaftarkan dirinya terlebihdahulu, kemudian dilanjutkan dengan perawatan yang dibutuhkan. Selesai dengan segala tahap awal, nama ‘Rara’ dipanggil oleh seorang perawat, kemudian diberikan arahan memasuki ruangan yang bertuliskan dokter umum di depan pitunya. Di sana tubuh Rara diperiksa, mulai dari pemeriksaan tubuh sederhana dengan stetoskop, pengecekkan suhu, rongga mulut yang disinari cahaya senter kecil, dan juga kedua mata yang sama disinari dengan alat yang sama.

“Rara, hanya menderita demam biasa,” begitu kata sang dokter wanita itu.

“Saya sarankan untuk diinfus semalam disini karena melihat kondisinya. Besok siang sudah boleh pulang. Saya akan berikan resep obatnya, nanti ibu bisa ambil di apotek di depan,” ucapnya ramah, wajahnya tidak lelah menunjukkan senyum lebarnya biarpun terlihat jelas dari matanya bahwa dirinya sudah merasa lelah.

Seperti saran sang dokter Rara dirawat semalam di klinik. Tengah malah, Rara tiba-tiba terbangun untuk sekadar meneriakkan kata ‘air’ demi menghilangkan dahaganya. Bundanya merasa sedikit tenang melihat kejadian itu. Perlahan putrinya terlihat kembali ke dalam keadaan sehat. Usai minum, Rara kembali tidur. Ia belum sadar bahwa saat ini dirinya sedang berada di klinik. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk merespon keadaan sekitarnya. Ia masih memerlukan banyak waktu untuk memulihkan kembali dirinya agar bisa merespon segala perbedaan yang saat ini tengah berlangsung.

Malam itu, Rara dan bundanya tidur di Klinik. Sementara ayah dan adiknya, sudah pulang sejak dokter meminta Rara untuk dirawat semalam. Bundanya membelai halus dahi putrinya yang tengah tertidur pulas. Matanya memandang dengan penuh kelembutan, dan tatapannya menunjukkan besarnya rasa sayangnya terhadap putrinya. Dahi anaknya tidak lagi sepanas di Rumah, perlahan suhu di dahinya berangsur menuju ke suhu normal. Ceracaunya pun tidak lagi terdengar. Bundanya merasa begitu damai ketika melihat putrinya tidur dengan pulasnya tanpa terlihat memendam rasa sakit.

Esoknya, Rara terbangun kembali dengan tubuh segarnya. Ia baru sadar bahwa semalaman dirinya tidak tidur di ranjangnya, melainkan di ranjang klinik. Melihat raut keheranan dari wajah Rara, menimbulkan sedikit rasa kewaspaan. Bundanya teringat dengan permintaan Rara kemarin bahwa dirinya tidak mau dibawa ke dokter. Namun, melihat kondisi Rara yang semakin memburuk membuatnya harus melewati jauh keinginan Rara.

“Lho bun, ini bukan di rumah?” mendengar itu bundanya merasa sedikit cemas.

“Ra, semalam demammu semakin memburuk. Bunda nggak ada pilihan lain selain membawamu ke dokter.”

“Kita pulang kapan, bun?” Rara nampak tenang, dan serangkaian kecemasan bundanya memudar.

“Sebentar lagi ayahmu sampai. Kita makan dulu yuk.”

Sambil menunggu kehadiran ayah dan adiknya, keduanya makan di kantin klinik. Ukurannya tidaklah besar, namun suasananya terasa sangat nyaman dan makanan yang dijual pun bervariasi. Sepintas Rara mendengar dari perawat-perawat di sana makanan yang dijual di klinik berbeda-beda setiap harinya, hal itu sengaja dilakukan oleh pengurus kantin agar siapa pun yang mampir tidak merasa bosan, terlebih untuk pekerja di sana yang banyak menghabiskan waktunya di klinik dibandingkan di rumah. Makanan yang dihidangkan pun berupa makanan rumahan, namun ada juga beberapa makanan ringan sebagai pengganjal di tengah aktivitas yang terlalu padat.

Menu hari ini rupanya sangat menggugah selera. Ada soto, tumis kangkung, telur balado, kentang mutofa, dan kerupuk serta rempeyek rebon sebagai penambah cita rasa makanan. Ada juga roti bakar, siomay, dan pempek sebagai makanan pengganjal. Rara memesan soto, sementara bundanya memesan tumis kangkung, kentang mustofa, dan kerupuk, rasanya tidak lengkap jika hanya memilih satu lauk. Keduanya memesan minum yang sama, teh hangat. Tidak peduli cuaca panas atau pun dingin keduanya selalu memesan teh hangat jika makan di luar.

“Bun, itu ayah!” seru Rara.

Keduanya telah selesai menyantap makanan pesanannya. Tersisa piring dan mangkok kotor yang siap diangkut oleh pembersih kantin. Ayahnya dan Dara menghampiri keduanya. Terjadilah perbincangan hangat penuh kerinduan. Baru semalaman mereka berpisah, namun topik pembicaraan sudah membludak seperti perpisahan setahun lamanya.

Usai sapa rindu, mereka memutuskan untuk pulang. Segala urusan penebusan baik itu biaya menginap semalam, maupun obat-obatan Rara sudah ditebus semalam sebelumnya. Lalu lintas hari itu cukup ramai sebab weekend. Semua orang pergi keluar rumah untuk sekadar mencari penawar penatnya seminggu beraktivitas. Kecuali keluarga Rara yang memutuskan untuk langsung pulang, tanpa singgah ke lain tempat. Biarpun saat ini Rara sudah nampak baik-baik saja, tetap saja Rara masih membutuhkan waktu untuk pemulihan. Sebelum pulang, seorang dokter yang memeriksa malam lalu menitipkan amanat kepada Rara agar dirinya banyak beristirahat, tidak peduli sebesar apa keinginannya untuk bermain.

Lihat selengkapnya