Rara

Hai Ra
Chapter #14

Bagian 14: Yogyakarta

Masa sekolah telah beristirahat sejenak, tentunya itu membawa angin segar untuk seluruh pelajar, baik di dalam negri sendiri maupun di negri orang. Kedatangannya disambut meriah penuh suka cita beriringan dengan kata, ‘hore!’, ‘asyik!’, ‘akhirnya!’, dan berbagai kata ungkapan bahagia lainnya lengkap dengan tanda seru di akhir katanya. Segala rentetan rencana sudah tersusun rapih, menambah meningkatnya kadar ketidaksabaran untuk segera menjelajah daftar rencana.

Pun dengan Rara yang sama senangnya dengan pelajar lainnya. Kali ini, Rara, Dara, dan bundanya berencana berlibur ke Yogyakarta. Pergi berlibur ke rumah neneknya dari bundanya, yang berarti seorang perempuan kuat yang berhasil mengeluarkan bundanya dari rahimnya, yang berarti bundanya dari bundanya, dan yang berarti seorang perempuan yang pantas Rara panggil dengan sebutan ‘nenek’. Ayahnya tidak turut, lantaran harus bekerja demi menghidupi keluarga kecilnya. menurutnya, biarlah ia bersusah-payah, berpusing-pusing, kerja keras bagai kuda, yang terpenting keluarganya bisa berkecukupan, mau ini cukup, mau itu cukup, mau ini itu cukup. Cukup sudah sangat lebih baik dari kelebihan, apa lagi kekurangan.

Pagi ini, Sena sempat berkunjung ke rumah Rara, sekadar mengajak Rara lari pagi keliling komplek perumahan. Mulanya, Rara menolak sebab ia merasa Sena yang saat ini mendatanginya bukanlah Sena kecilnya. Namun, semesta seolah sangat menginginkan Rara lari pagi keliling komplek perumahan dengan Sena. Saat Sena datang, di teras rumah, ayah Rara sedang melakukan kegiatan rutin paginya, tidak lain dan tidak bukan, membaca koran di teras rumah dengan segelas kopi hitam dengan tambahan setengah sendok gula dan tidak lupa campuran susu putih yang takarannya hanya diketahui oleh bundanya.

“Ra, ada Sena katanya mau lari pagi bareng,” teriaknya riuh dari teras rumah.

Ia segan untuk beranjak sebentar. Bokongnya yang tidak terlalu semok itu enggan berpindah dari tempatnya, dan bersikukuh untuk rebah di kursi kayu yang sebenarnya tidak terlalu nyaman untuk diduduki sebab adanya jarak dari setiap potongan kayu hingga menimbulkan rongga-rongga. Mungkin, tujuan sang perancang kursi agar kursi itu tetap memiliki jalan pertukaran sirkulasi udara, atau mungkin agar bokong siapa pun yang duduk di sana tetap bisa merasakan hembusan angin yang bertiup lewat kolong kursi. Pemikiran yang sangat bijak.

Terpaksa Rara menuruti perintah ayahnya, yang tidak lelah membujuk dirinya untuk mau lari pagi keliling komplek perumahan dengan Sena. Pagi ini, suasana hati Rara sedang tidak baik. Sudah seharusnya jika suasana hatinya sedang tidak baik, yang seharusnya dilakukan yaitu berdiam diri di kamar, mencari kesenangan di tengah kesendirian hingga hati merasa puas, bermalas-malasan dari malam ketemu malam, menghabiskan uang hanya demi makanan yang sebenarnya perut tidak merasa lapar, menghancurkan kamar hingga tidak berwujud, bahkan hingga suara bundanya berubah menjadi melengking, dan kegiatan sendiri lain yang mampu mengembalikan keceriaan diri.

“Ra, inget nggak dulu saat baru pertama kali bertemu kita sempat bermain lari-larian,” Sena tidak pernah bosan membicarakan masa lalunya dengan Rara, ia membicarakan seluruh masa lalunya dengan Rara dengan begitu tertarik.

Setiap perjumpaannya dengan Rara, pasti saja selalu dibuka dengan pembahasan tentang kejadian-kejadian masa lalu antara dirinya dengan Rara. “Kayak nggak ada bahasan lain saja,” gumam Rara yang sudah bosan mendengar ocehan Sena yang menurutnya sangatlah membosankan. Apakah memang sudah menjadi penyakit semua laki-laki membahas masa lalu? Rara mengabaikan pembahasan masa lalu itu bukan karena masa lalu dengan Sena tidak menyenangkan, hanya saja ia tidak ingin. Setiap kejadian masa lalu yang dibahas, membawanya masuk ke dalam perputaran waktu yang tidak ingin ia jajaki lagi, karena kejadian-kejadian menyenangkan yang ia lalui bersama Sena mengantarkan dirinya kembali ke masa sedihnya akan Sena. Ia tidak mau sampai di masa itu.

“Ra, kok diam saja? Kamu sakit?” tanya Sena yang sedari tadi mengoceh, tapi Rara tak kunjung memberikan tanggapannya. Sesekali ia hanya tersenyum pahit kepadanya.

“Udahan saja ya lari paginya, sudah mulai panas. Aku duluan ya,” bukannya menjawab, Rara lantas berjalan cepat meninggalkan Sena yang bertanya-tanya dengan perubahan teman kecilnya itu.

Keadaan memang selalu berubah. Kita tidak bisa menuntutnya untuk selalu sama, karena memang sudah seperti itu perputarannya. Terkadang perputaran itu begitu baik hati mengantarkan kita kepada sesuatu yang jauh lebih menyenangkan dari masa lalu, namun terkadang ia juga bisa berlaku jahat, tidak adil, bahkan membuat kita hingga kehilangan diri kala diri kita sendiri tidak mau menerima kejahatan dan ketidakadilan itu. Memangnya siapa juga yang akan senang menerima kejahatan dan ketidakadilan di kehidupannya. Kata ‘adil’ seakan hanyalah sebuah kata yang tidak jelas praktiknya, dan kata ‘jahat’ berbaik hati mengantarkan kita kepada keresahan hingga lupa akan kesenangan kemarin.

Rara bergegas pulang, hatinya sudah sangat tidak sabar ingin mengemas pakain, mp3 kesayangannya, Lany yang masih menjadi boneka kesayangannya, camilan-camilan minimarket yang tidak mengenyangkan, dan berbagai barang sepele yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan dalam perjalanan itu, seperti pensil warna, sekotak tali ikat rambut, sekotak klip kertas berwarna-warni, roll rambut yang sangat jarang ia gunakan, kotak perhiasan murahannya yang ia beli di abang-abang mainan depan sekolahnya, dan serentetan barang tidak guna lain masuk hingga tas besarnya tidak bisa disleting rapat.

Betul saja, berkemas, sendirian, di kamar, membuat hatinya riang kembali. Rara adalah anak remaja labil yang labilnya sangat-sangat. Kegiatan sederhana mampu mengembalikan keriangan hatinya, dan kegiatan sederhana juga mampu menghilangkan keriangan hatinya.

Rara, Dara, dan bundanya akan berangkat ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta malam. Mereka sengaja memesan tiket kereta perjalanan malam. Pikirnya, bisa sampai di Yogyakarta pagi hari, selepas turun kereta bisa sejenak mampir ke salah satu tempat yang tertera dalam daftar perjalanan. Namun, rencana tidak selalu mudah diwujudkan sesuai keinginan hati, ada saja masalah yang dihampiri, salah satunya selepas turun kereta Dara rewel, menangis, meraung-raung di lantai stasiun. Dara enggan turun dari kereta. Ia ingin terus berada di kereta, karena menurutnya kereta merupakan kendaraan ternyaman untuk dirinya. Beberapa orang yang lalu lalang, lengkap dengan koper atau tas besarnya, memandangi gadis kecil itu kasihan, beberapanya ada yang menunjukkan kepeduliannya dengan memberikan camilan khas anak-anak, yang tentu saja Dara tolak mentah-mentah, membuat si pemberi sedikit tersinggung, namun ia sedikit mengerti raungan Dara.

“Aku nggak mau turun, nda. Aku mau naik di kereta saja,” raungnya seperti anak harimau yang belum diberi makan.

“Nggak bisa begitu, dar. Kalau kita nggak turun kereta, nanti kita nggak bisa bertemu nenek. Memang Dara mau nggak ketemu sama nenek?” rayu bundanya, mengusahakan.

“Mau. Tapi, Dara juga mau naik kereta.”

“Besok lagi ya kita naik keretanya. Hari ini kita naik mobil dulu, setelah beberapa hari di rumah nenek baru kita naik kereta lagi. Mau ya?”

“Nda, apa nggak bisa keretanya berhenti di depan rumah nenek saja?”

“Ya nggak bisa, dar. Kereta itu punya jalan lintasannya sendiri, dia nggak bisa jalan kalau ditempatkan di jalan beraspal, yang ada nanti malah menambah kemacetan. Memangnya Dara mau membuat kemacetan tak berakhir di jalan?”

“Nggak, Dara mau semua lalu lintas di jalan lancar.”

“Nah, maka dari itu kita biarkan keretanya berjalan di atas rel yang sudah seharusnya ya. Sudah ya jangan menangis lagi. Kesempatanmu naik kereta naik pasti akan tercapai.”

Dara mengangguk, menghentikan raungan memalukan untuk orang sekitarnya. Iya, orang sekitarnya, bundanya dan Rara malu setengah mati mendapat pandangan kurang mengenakkan dari orang-orang yang berlalu lalang. Mungkin, mereka pikir seorang ibu dan kakak berlaku jahat kepada adik hingga membuat sang adik menangis, meraung-raung di lantai stasiun. itu hanyalah perumpamaan segelintir pemikiran sok tahu dari orang-orang yang sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, namun berlagak sombong seolah dirinya serba tahu akan segala hal. Tipe orang-orang seperti ini adalah tipe yang sangat menyebalkan di muka bumi belahan mana pun.

Di depan stasiun sang nenek sudah menunggu kehadiran tiga orang yang ditunggunya sejak tiga puluh menit lalu. Selama tiga puluh menit itu juga ia telah mengelilingi lingkungan luar stasiun, entah sudah berapa kali karena dirinya tidak menghitung perputaran itu. Melihat sosok neneknya, Rara dan Dara lantas berlarian, lalu melemparkan tubuhnya ke tubuh neneknya hingga membuat neneknya kehilangan keseimbangan, bahkan hampir terjatuh, tersungkur di lantai teras stasiun.

“Hati-hati, Rara, Dara,” teriak bundanya yang khawatir kedua anaknya akan menyakiti seorang perempuan yang ia panggil dengan sebutan ‘ibu’.

Kedua anak itu tidak mau mendengar, dan tubuhnya sudah terlanjur tiba di pelukan sang nenek. Neneknya membalas hangat salam pertemuan mengejutkan itu. Tidak apa-apa untuknya, ia paham dengan sikap anak ‘zaman sekarang’, yang merasa dirinya benar, merasa sudah dewasa, tidak mau mendengar, dan lebih berani melawan bak jagoan kandang jika memang bertentangan dengan kehendak hatinya.

“Bagaimana perjalanannya, menyenangkan?” tanya neneknya lembut, selembut kain sutra yang digunakan oleh keluarga kerajaan sebelum zaman semakin berkembang.

“Menyenangkan, tapi nggak juga,” jawab Dara yang bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan neneknya.

“Lho kenapa jawabannya bisa begitu?”

“Menyenangkan karena sesekali ada lampu-lampu cantik, tapi nggak menyenangkan karena labih sering gelapnya,” neneknya hanya tertawa mendengar jawaban aneh, namun sesuai dengan kenyataan yang dilihat cucunya.

“Kabarmu bagaimana, nak?” tanya sang nenek yang beralih pandang ke anak tercintanya yang sudah lama tidak pulang kampung.

“baik, bu, sangat baik,” jawab sang anak beriringan dengan pelukan kerinduan yang telah menumpuk di relung hatinya.

“Nek, sudah lengkap semua?” sahut tiba-tiba seorang pria berusia tiga puluh tahunan yang ingin memastikan kalau tamu sang nenek telah lengkap.

“Sudah, meng,” sang nenek memanggil ‘meng’ bukan berarti memanggil ‘meng kucing’, melainkan memang namanya Imeng, dan panggilan singkat, padat, dan jelasnya yaitu ‘meng’.

“Meng, nanti kita mampir ke kedainya mbok Parmi ya. Kita sarapan dulu di sana,” lanjut sang nenek diikuti permintaan, yang kemudian langsung disetujui oleh si tukang antar jemput.

Sesuai dengan permintaan sang nenek, perjalanan mereka terhenti sejenak di warung sarapan berplang, bertuliskan Kedai Mbok Parmi ber-font Times New Roman dengan ukuran besar lengkap dengan foto wajah Mbok Parmi, si pemilik kedai. Kedai itu lumayan luas, sebenarnya tidak pantas dikatakan sebagai kedai, namun karena orang-orang sekitar sudah terbiasa menyebut tempat itu sebagai kedai, maka disebutlah sebagai Kedai Mbok Parmi. Awal mula kedai itu buka memang berukuran kecil, mengingat pada masa itu modal yang dimiliki Mbok Parmi, sang pemilik, hanya sedikit. Kedai itu ia rintis dari kecil, dari yang bukan apa-apa, dan dari yang tidak diketahui orang, hingga besar, hingga menjadi apa-apa, dan hingga diketahui banyak orang, bahkan turis lokal maupun asing. Saat ini kedai itu sudah tidak diurus oleh Mbok Parmi, karena beliau telah berpulang kepada sang pencipta. Kedai itu diturunkan kepada anak bungsunya yang kini sudah berusia setengah abad, dan nantinya akan diturunkan lagi ke anak dari anak bungsunya Mbok Parmi, dan begitu seterusnya.

Kedai Mbok Parmi tidak mengenal kata sepi. Kedainya selalu ramai, baik itu pendatang atau pun masyarakat sekitar. Makanan yang ditawarkan pun berbeda setiap waktunya. Pelayan dan tukang masaknya pun berbeda setiap waktunya. Saat pagi, kedai itu hanya menyediakan makanan yang cocok untuk disantap di pagi hari, semisal nasi uduk, gudeg, lontong sayur, nasi kuning, soto ayam, dan gado-gado. Saat siang dan malam, kedai itu menambahkan beberapa menu diantaranya seperti mie ayam, bakmi jawa, sate-satean, soto sapi, nasi campur pedas (menu bintang kedai itu, gudeg juga termasuk ke dalam menu bintang di kedai itu), lele asap, ayam geprek, sop ayam, dan aneka sambal sesuai selera pembeli. Kedai itu sudah seperti surganya pecinta makanan sebab banyaknya pilihan menu. Di setiap harinya kedai itu menawarkan tambahan menu-menu yang tidak biasa, dan pastinya berbeda setiap harinya, seperti halnya bebek goreng dengan taburan sambal mentah yang diletakkan diatas batok kelapa, ayam kremes dengan taburan sambal korek yang super pedas, ayam penyet satu ekor yang sangat cocok disantap bersama keluarga tercinta, dan berbagai menu lain yang setiap harinya selalu diberikan embel-embel menu spesial hari ini.

Tidak tertinggal pula pilihan berbagai minuman, dari yang dingin hingga hangat semua tersedia di kedai itu. ‘Kedai Serba Ada’ sudah menjadi sebutan akrab buatan orang-orang sekitar untuk kedai itu. Biarpun kedai itu disebut dengan sebutan ‘Kedai Serba Ada’, kenyataannya ada beberapa hal yang tidak disediakan di sana, seperti kebutuhan pokok (sandang, papan) karena tempat itu bukanlah ‘Supermarket Serba Ada’, asuransi karena tempat itu bukanlah kantor pusat maupun kantor cabang jasa penawaran asuransi, pinjaman karena tempat itu tidak menyediakan jasa meminjam makan pagi, siang, dan malam, tiket mudik karena tempat itu bukanlah terminal, stasiun, bandara, dan pelabuhan, bahan bakar karena tempat itu hanya menyediakan cairan yang bisa diminum dan diproses oleh tubuh manusia, apalagi jodoh karena tempat itu bukanlah biro pencari jodoh.

Rara memesan nasi kuning dengan tambahan toping telur balado. Dara memesan nasi kuning tanpa tambahan toping telur balado, tetapi menambahkan toping perkedel. Bundanya memesan soto ayam lengkap dengan perasan jeruk nipis, sambal yang selalu menggoda, dan setengah potong telur rebus. Neneknya memesan gudeg, makanan khas Yogyakarta, yang kebetulan adalah makanan kecintaannya, yang kebetulan juga makanan kebanggaannya, dan yang kebetulan juga makanan yang masuk bintang lima di kedai itu. Mang Imeng tidak memesan apa pun, namun sang nenek memaksanya, dan membujuknya agar tidak perlu khawatir dengan pembayarannya. Pagi itu mang Imeng lupa membawa dompetnya, maka dari itu ia memilih menahan rasa laparnya, namun sang nenek memaksanya dengan berkata, “Meng, rene yo! Kowe arep pesen opo? Wes ora usah khawatir, mengko aku sing bayar.” Yang jika diubah menjadi bahasa Indonesia berarti, “Meng, sini! Kamu mau pesan apa? Sudah nggak perlu khawatir, nanti aku yang bayar.”

Akhirnya mang Imeng ikut memesan, makan bersama di meja yang sama, tetapi di piring yang berbeda. Mang Imeng memilih gudeg, pilihan menu yang sama dengan sang nenek. Sang nenek tersenyum gembira melihat kekalahan mang Imeng. Di sebrangnya, ada Rara dan Dara yang menatap kagum dengan bahasa jawa sang nenek. Mereka sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, tapi seperti memang tidak pernah mendengar bahasa jawa secara langsung. Lantas mereka merasa sedang masuk acara televisi, karena hanya di acara televisilah mereka bisa mendengar bahasa jawa.

“Meng, jangan ragu kalau mau nambah,” ucap sang nenek yang mengubah bahasa bicaranya agar dimengerti oleh lainnya.

Lihat selengkapnya