“Ra, ayo bangun nanti kita ketinggalan kereta,” perintah bundanya sedikit memaksa.
Rara memaksa tubuhnya untuk bangkit dari rebahnya. Langkahnya sungguh berat. Ia masih ingin berlama-lama di Yogyakarta bersama sang nenek. Namun, bundanya terus mengajaknya kembali ke Jakarta dengan alasan ia harus sekolah. Alasan yang sangat klise, namun sesuai pada kenyataannya.
Bundanya sudah berdandan rapih. Wajahnya dipoles tipis oleh bedak yang warnanya selaras dengan kulitnya, dan sedikit rona pink kemerahan pada bibirnya menambah kesan segar. Dua koper yang sebelumnya dibawa dari Jakarta pun sudah bersanding di depan pintu kamar, sudah tidak sabar menantikan sebuah perjalanan. Mungkin, jika koper-koper itu punya mulut dan mampu berbicara, mereka akan berkata, “Ayo, cepatlah bangun anak pemalas! Aku sudah tidak sabar dengan perjalanan selanjutnya!”
Sang nenek sudah sibuk di dapur sejak pagi buta tadi menyiapkan sarapan dan bekal untuk anak dan kedua cucunya tersayang. Seekor ayam kampung dipotong paksa oleh mang Imeng, semalam, sebelum isya, untuk santapan pagi dan santapan perjalanan Rara dan bundanya. Dara tidak menyukai ayam kampung, karena dagingnya yang alot saat digigit dan sulit untuk ditelan. Maka dari itu sang nenek membuatkannya telur dadar. Sementara Rara, terpaksa menyukai, lebih tepatnya terpaksa makan hidangan ayam kampung itu demi menghargai perjuangan mang Imeng yang sudah repot-repot mengejar, menangkap, hingga memenggal kepala ayam di malam hari, dan juga perjuangan neneknya bangun pagi, lalu masak untuk santapan para tamu jauhnya.
“Ndok, sini sarapan dulu. Ajak Rara dan Dara,” panggil lembut sang nenek.
“Iya, bu, sebentar.”
Sarapan pagi itu berjalan dengan sangat tenang. Tidak ada pembicaraan dari masing-masing orang. Ayam peliharaan sang nenek memekik, menyambut baik hadirnya pagi yang dingin, namun segera dihangatkan oleh mentari pagi yang malu-malu menampakkan dirinya dari gumpalan kapas putih di langit. Pekikkannya terdengar sedih, tapi bergembira. Sedih karena melihat salah satu kawannya berubah menjadi hidangan lezat manusia. Bergembira karena ia masih bisa bertemu dengan hari ini. Terbesit pula rasa syukur dalam dirinya, sebab hari ini bukanlah waktunya bertemu dengan ajalnya, hingga harus menjadi santapan manusia jahat (di mata para ayam yang merasa kawan-kawannya telah direbut paksa oleh manusia hanya untuk menggusur rasa laparnya).
Mereka disibukkan dengan santapannya masing-masing. Tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar suara ketukan antara sendok dan piring yang dihasilkan oleh Dara. Rara, bundanya, dan neneknya lebih memilih menikmati makanan mereka langsung menggunakan tangan. Banyak orang bilang makan dengan tangan langsung jauh lebih nikmat dan lezat dibandingkan dengan menggunakan alat, seperti sendok dan garpu. Berbeda cerita jika menyantap indomie, sop ayam, sop iga, soto ayam, lontong sayur, sayur lodeh, sayur bayam, mie ayam, bakso, rawon, dan jenis makanan berkuah lainnya, yang memang harus menggunakan alat makan, seperti sendok dan garpu. Akan terlihat menjijikan apabila seseorang menyantap makanan berkuah langsung menggunakan tangannya.
“Assalamualaikum,” suara seorang laki-laki dari balik daun pintu rumah sang nenek.
“Meng, sudah datang? Sini sarapan dulu,” ajak sang nenek.
Suaranya sama lembutnya ketika mengajak Rara, Dara, dan bundanya sarapan pagi. Di meja makan, tidak ada orang desa, karena kalau saat pagi mereka sarapan masing-masing di rumah mereka bersama keluarga tercinta mereka. Tidak hanya Rara, Dara, bundanya, dan neneknya yang memiliki keluarga tercinta, seluruh orang desa hingga seluruh orang di dunia memiliki keluarga tercinta yang perlu dipenuhi oleh kasih dan sayang.
“Sudah makan, nek, tadi. Saya tunggu di depan saja ya, nek.”
“Oh ya sudah kalau begitu.”
Kemarin sore, saat langit perlahan menunjukkan warna jingga yang sangat memanjakan mata, sang nenek menghubungi mang Imeng untuk meminta pertolongan menyembelih salah satu ayam peliharaanya. Setelah menyembelih salah satu ayam perliharaannya, sang nenek meminta satu permintaan lagi kepada mang Imeng untuk mengantarkan anak dan kedua cucunya ke stasiun. Di saat kondisi seperti ini, sosok mang Imeng sangat dibutuhkan oleh sang nenek. Siapa lagi kalau bukan mang Imeng, orang kepercayaan sang nenek yang mau mengantarnya pergi kemana pun.
Selepas permohonan Rara kemarin, Rara tidak lagi mengeluarkan suaranya. Mulutnya dibuat membisu setelah mendengar saran sang nenek. Pikirannya terus dibuat mengawang memikirkan keinginannya untuk tinggal dengan neneknya. Menjatuhkan pilihan sangatlah sulit. Apalagi jika kedua pilihan itu memiliki baik dan buruknya masing-masing. Biasanya, di saat seperti ini, kepala akan sakit, pusing, mumet, penuh, dan sangat sibuk dari hari-hari biasanya. Bahkan lebih parahnya lagi nafsu melakukan kegiatan sehari-hari ikut terlindas, hingga pada akhirnya yang dilakukan hanyalah bermalas-malasan. Dan parahnya lagi, orang-orang disekitar akan melabeli ‘pemalas’.
Usai sarapan, mereka bergegas menuju mobil mang Imeng yang sudah menunggu sejak tadi sambil mendorong dua koper tadi yang sudah tidak sabar dengan perjalanannya. Saat ditarik, kedua koper itu mengeluarkan suara “drururuk drururuk”. Suara itu baru akan hilang jika si penarik koper berhenti menariknya. Dan akan terdengar kembali saat koper itu kembali ditarik oleh si penarik koper.
Sang nenek ikut mengantar anak dan kedua cucunya sampai di stasiun. Hati sang nenek merasa sedih. Baru sebentar ia bertemu dengan anak dan kedua cucunya, kini sudah harus dipisahkan lagi oleh jarak. Tapi, tidak apa-apa. Mungkin, saat libur hari raya nanti mereka dapat berkunjung lagi dengan durasi waktu yang lebih panjang. Ia juga kasihan kepada ayah kedua cucunya, yang saat ini, pasti sedang menunggu kehadiran kedua anak dan istrinya begitu tidak sabar. Dalam keadaan seperti ini, salah satunya, orang yang paling bijak, perlu menekankan egonya demi kebaikan bersama.
Tangan sang nenek melambai, melepaskan kepergian anak dan kedua cucunya dari halaman stasiun. Ia tidak bisa mengantar kedua cucunya dan anaknya sampai pintu kereta, karena memang sudah begitu ketentuannya. Jikalau sang nenek memaksa ingin mengantar sampai dalam, ia harus membeli tiket yang sama. Tetapi, hal itu dirasa mubazir, buang-buang uang. Mencari uang sudah sulit, akan lebih sulit lagi jika dipakai secara tidak bijak. Sang anak dan kedua cucunya pun membalas lambaian itu. Ketiganya tersenyum, menutupi rasa sedih yang sebenarnya. Suasana kala itu diliputi oleh perasaan sedih. Mata sang nenek hampir meneteskan air mata, namun berhasil ia cegah.
***
Di dalam kereta yang sudah melaju dengan kecepatan normal, Rara menatap kosong keluar. Melayangkan pandangannya pada hamparan padi menghijau yang nampak bagaikan karpet raksasa. Tidak lama matanya terasa berat hingga sulit rasanya untuk bisa ia paksa terbuka. Akhirnya ia pun mengalah, lalu tertidur dengan kepala menempel ke jendela kereta.
Berselang sembilan jam, kereta yang Rara naiki sampai di stasiun Gambir. Tidurnya benar-benar pulas. Sepanjang perjalanan ia tertidur tanpa terbangun sedetik pun. Rupanya ia sangat mengantuk. Semalam, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak karna sibuk memikirkan keinginannya itu. Memikirkan pula perkataan neneknya, memikirkan penolakan bundanya yang menurutnya tidak wajar, mengingat neneknya di Yogyakarta juga masih termasuk keluarganya. Namun, mengapa bundanya tidak setuju dengan permintaan mudahnya? Menurut seorang gadis remaja yang sedang dalam masa ketidakstabilan emosi itu, mungkin permintaannya itu dirasa mudah, namun akan terasa sulit bagi orang dewasa.
Rara turun dari kereta bersamaan dengan bundanya, dan Dara. Di depan stasiun, ayahnya sudah menunggu sambil mengunyah roti berisikan selai mocca sekadar untuk mengganjal rasa laparnya yang sudah tidak tertahankan. Dara yang sudah sangat rindu dengan ayahnya, lantas berlari, lalu jatuh dalam dekapan ayahnya saat itu juga. Rara tidak, karena menurutnya itu terlihat kekanak-kanakan. Dirinya merasa sudah cukup besar untuk melakukan sikap kekanakan itu.
“Bun, Rara lapar.”
Sebelum pulang, mereka mampir ke sebuah gerai makanan yang jaraknya berdekatan dengan stasiun. Perut mereka sudah meronta-ronta meminta diberikan asupan sejak tadi. Tidak sanggup jika harus menahan lapar lebih lama. Jika dipaksakan kepala akan bertambah pening, perut semakin mual, tubuh lemas, dan lebih parahnya lagi perut akan benar-benar mengeluarkan segala isi melalui mulut (orang-orang biasanya menyebutnya dengan kata ‘muntah’). Jika gejala-gejala itu sudah diidap tubuh, dapat dipastikan angin telah masuk ke tubuh, lalu disebutlah sebagai sakit ‘masuk angin’. Inginnya ‘masuk rumah’, namun apa daya angin nyatanya jauh lebih cepat melesat, hingga yang terjadi ‘masuk angin’.
“Yah,” panggil Rara tiba-tiba di sela-sela menikmati makan malamnya.