Sebelum ayah Rara memberikan izin untuk Rara tinggal dengan neneknya di Yogyakarta, sang nenek yang seolah hatinya merasa terhubung dengan anak dan cucunya menelpon ayah Rara. Sang nenek menyampaikan beberapa hal yang membuat ayah Rara hanya bisa diam, kemudian hanya bisa dijawabnya dengan begitu singkat.
“Saat ke Yogyakarta kemarin, Rara bilang ke bundanya dan juga ibu ingin tinggal dengan ibu di sini. Tetapi, bundanya tidak setuju, dan ibu pun sama tidak setujunya, karena mengingat usia Rara yang masih tergolong sangat muda untuk tinggal berjauhan dengan kedua orang tuanya. Le, ibu hanya ingin memberikan kamu beberapa pesan. Ibu harap kamu tidak tersinggung. Le, Jika anakmu sudah begitu memaksanya ingin tinggal berjauhan dengan kedua orang tuanya, ibu simpulkan bahwa ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman tinggal di sana. Apakah terjadi sesuatu di sana?” sang nenek memanggilnya dengan sebutan ‘le’ karena sudah menganggap menantunya itu seperti anak laki-lakinya sendiri. Maksud panggilan ‘le’ ditujukan untuk anak laki-laki dalam budaya jawa.
“Nggak ada masalah apa-apa, bu?”
“Yakin kamu? Ibu hanya ingin berpesan kepada kamu. Le, jangan terlalu keras dengan anakmu. Dia masih remaja, tepatnya, ia seorang remaja perempuan yang emosinya masih mudah terombang-ambing terbawa arus. Kerasnya sikapmu kepadanya tidak akan membuatnya luluh dan segera menuruti arahan kerasmu. Justru sebaliknya, ia akan bersikap sama kerasnya seperti dirimu, dan nantinya akan memberikan bencana lain untuk dirinya. Hati seorang perempuan itu lembut dan sensitif, le, tidak peduli tua atau pun muda. Biarpun hatinya sedang sakit, biarpun ia tidak menunjukkan kesedihan itu didepanmu, dan malah sebaliknya meledakkan amarahnya, usahakanlah, tetaplah bersikap baik kepadanya. Bersikap keras akan membuatnya semakin tersakiti, terpojok, tidak terkontrol, bertambah keras kepala, bahkan buruknya hilangnya rasa percayanya terhadap orang-orang sekitarnya.”
“Saat berkunjung ke Yogyakarta kemarin, Rara tidak bercerita dengan ibu tentang perasaannya. Tetapi, ibu bisa lihat dimatanya ada goresan luka yang ia sembunyikan dari dunia luarnya. Ibu tidak tahu pasti apa yang membuat hatinya tergores. Jangan terlalu mudah percaya dengan emosi yang ia berikan, karena belum tentu apa yang ia ekspresikan itu adalah apa yang ia rasakan. Rara masih terlalu muda untuk bisa mengekspresikan segala bentuk perasaannya dengan tepat. Bisa jadi, sebenarnya ia ingin menangis, tetapi ia tidak mengerti bagaimana caranya menangis di depan orang lain sehingga bukan tangisnya yang ia tunjukkan, melainkan amarah menggebu-gebunya hingga akhirnya sedihnya tidak terbaca oleh orang lain.”
“Satu lagi pesan dari ibu, luangkan waktumu lebih banyak untuk kedua anakmu. Ajak mereka mengobrol banyak hal, dengan begitu kalian akan saling terhubung dan saling memahami perasaan satu sama lain. Jangan sampai mereka berpikir kamu tidak sayang dengan mereka hanya karena masalah ini. Pikiran anak-anak mudah menyimpulkan sesuatu disekitarnya dengan cepat tanpa memikirkan kemungkinan lain.”
Dari sambungan sebrang ayah Rara hanya mampu menjawab, “Iya, baik bu,” seperti seorang bawahan yang diberikan tumpukkan tugas oleh atasannya.
“Le, lima hari lagi ibu berencana akan berkunjung ke Jakarta. Tidak apa-apa bukan kalau ibu main ke sana? Ibu hanya sebentar di sana, tidak lama.”
“Nggak apa-apa, bu. Justru saya malah senang ibu mau berkunjung ke sini. Mau lama juga nggak apa-apa, bu.”
Setelah perbincangan di telfon itu, selama tiga hari ayah Rara memikirkan segala ucapan neneknya setiap katanya. Tidak ada satu kata pun yang tertinggal dalam ingatannya. Dan selama tiga hari itu, ia berpikir suntuk mengenai keputusan yang akan ia berikan terhadap keinginan Rara untuk tinggal dengan neneknya.
***
“Kalau kamu memang sudah yakin ingin tinggal dengan nenek,” ragu-ragu ayahnya mengucapkan, “Akan ayah setujui,” itu adalah hasil perenungannya selama tiga hari lamanya. Pada akhirnya ia mengizinkan putri pertamanya untuk tinggal berjauhan dengannya, bundanya, dan adiknya.
“Yah,” protes bundanya.
“Sudah biar saja. Nantinya, ia akan bisa menentukan sendiri kenyamanannya. Kita nggak bisa terus memaksanya. Kita percayakan saja semuanya kepada Rara ya, bun.”
“Ya sudah kalau itu sudah jadi keputusan terbaikmu.”
Keesokannya, dengan penuh riang dan bangga, Rara mengajak Sena untuk bertemu dengannya. Menurutnya, kabar baik ini harus diketahui Sena. Kabar baik untuk Rara, namun sebaliknya untuk kedua orang tuanya yang dengan berat hati melepas jauh putri pertamanya.
“Ra, jangan jauh-jauh mainnya!” perintah bundanya yang selalu mengkhawatirkan hal apa pun.
“Siap, bun!”
Di samping Rara sudah ada Sena yang sama riangnya seperti suasana hati Rara. Wajahnya memandang Rara penuh harap. Sebelumnya, Rara sudah mengatakan padanya bahwa dirinya ingin mengatakan kabar baik. Dan Sena sudah sangat menantikan kabar baik itu.
“Ra, apa kabar baiknya?”
“Nanti akan aku ceritakan ketika kita sudah sampai di taman.”
“Lho kenapa harus di sana? Di sini bukannya bisa?”
“em...di taman saja ya.”
Sena mengangguk, menghargai keinginan Rara. Keduanya berjalan beriringan ke taman tanpa ada pembicaraan. Keadaannya sedikit canggung. Ingin Sena menggandeng tangan Rara, namun ia urungkan niat itu, karena khawatir Rara tidak suka dan akan marah padanya. Kalau sudah marah, bisa jadi Rara tidak jadi mengatakan isi kabar baik itu padanya. Dan dirinya akan dilanda rasa penasaran yang tinggi.
Kemudian mereka duduk di atas ayunan yang terlihat masih kuat dan terawat, tidak seperti ayunan di rumah Sena pada masa lalu. Sangat berbeda jauh penampakannya. Entah mengapa pertemuan mereka selalu identik dengan ayunan. Hari itu taman sangat ramai. Banyak orang berdatangan ke taman sekadar ingin menghibur dirinya dari sesaknya rutinitas dunia. Ada juga yang sekadar olahraga ringan, seperti berjalan santai, lari, senam (yang diikuti oleh beberapa ibu-ibu komplek rempong), dan ada juga yang bermain-main dengan hewan peliharaannya.
“Sen, besok nenekku akan datang ke Jakarta!”
“Itu kabar baiknya?”
“Bukan. Tapi, itu juga termasuk.”
“Lalu?”
“Ayahku akhirnya mengizinkan aku untuk tinggal dengan nenek di Yogyakarta!” Rara berseru keras ketika mengatakan hal itu, hingga orang-orang disekitar mengakui keberadaannya di sana.
“Oh..selamat ya.”
“Kamu nggak senang?”
“Aku senang.”
“Bohong.”
“Aku nggak bohong.”
“Lagi-lagi kamu hanya bisa berbohong. Wajahmu itu mengatakan semuanya, Sena. Biarpun aku bukan juara kelas atau juara umum di sekolah, tapi aku tahu kamu nggak senang dengar berita baik ini.”
“Aku bisa apa kalau kamu sudah bilang begitu.”
Sena mengakuinya. Bukan senang yang sebenarnya ia rasakan setelah mendengar kabar baik yang dibilang Rara. Menurutnya, itu adalah kabar buruk. “Rara nggak bermaksud membalas dendam bukan?” batinnya ketika ia teringat kejadian beberapa tahun lalu ia pindah tiba-tiba ke Malang.
“Sena, aku ingin merayakan perpisahan kita. Aku tidak ingin pergi begitu saja tanpa adanya perayaan,” Rara bangkit dari ayunannya, lalu berdiri di hadapan Sena yang masih terduduk di atas ayunan.
“Bagaimana caranya? Berpesta?”
“Sena, merayakan perpisahan bukan hanya dengan melakukan pesta. Ada banyak cara lain yang lebih sederhana.”
“Kamu semakin besar semakin aneh ya, ra. Apakah ada orang yang mau merayakan perpisahan?”
“Ada. Aku.”
“Perpisahan nggak membuat orang yang ditinggal senang, ra. Justru sebaliknya, orang yang ditinggal akan merasa sedih. Maka dari itu perpisahan nggak layak untuk diadakan perayaan. Adanya sebuah perayaan hanya akan menambah rasa sedih, ra, karena tanpa sadar di perayaan itu kita menghitung waktu datangnya perpisahan itu.”
“Lalu kenapa waktu itu kamu tiba-tiba pindah?”
Sena diam.
“Aku nggak mau jadi orang seperti kamu yang pergi sesukanya tanpa memberi kabar apa pun. Setidaknya dari perayaan perpisahan itu ada sesuatu yang bisa kita kenang, biarpun itu hanya hal kecil. Aku nggak mau memberikan kesan buruk di perpisahan kali ini. Aku ingin melakukan perpisahan ini dengan kesan baik.”
Sena kembali diam. Dan Rara tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Menurutnya, omelannya untuk Sena sudah cukup untuk memuaskan batinnya yang sempat terluka karena Sena.
Rara lantas memeluk tubuh tertunduk Sena. Sena begitu terkejut dengan sikap Rara yang menurutnya terlalu berani memberikan pelukan di depan umum. Terlebih orang yang dipeluknya itu seorang anak laki-laki, yang bisa saja menimbulkan kesalahpahaman dari orang-orang yang lalu lalang di taman. Dan, betul saja dugaannya, orang-orang yang lalu lalang menatap ke arahnya. Ada beberapa yang mengeluarkan alat komunikasinya untuk merekam situasi itu. Dalam sekejap, berkat sikap berani Rara, Sena dan juga Rara menjadi artis komplek sehari.
Berbanding terbalik dengan Sena yang merasa tidak nyaman, Rara sebaliknya merasa tidak peduli dengan perhatian yang diberikan dari orang-orang yang lalu lalang. Ia hanya ingin memberikan salam perpisahan secara baik kepada Sena, sahabat kecilnya. Dan hanya dengan cara itu yang terlintas di benaknya. Meskipun terlihat terlalu berani, Rara tidak peduli.
“Anggara Sena Dhanajaya, ini adalah perayaan perpisahan dariku. Sehat-sehat ya kamu disini. Terima kasih atas kenangan menyenangkan yang kamu berikan di masa kecilku. Aku nggak tahu suatu hari nanti kita akan bertemu lagi atau nggak. Kalau nanti kita nggak bertemu lagi, bisa jadi ini perayaan perpisahan dariku yang pertama dan terakhir kalinya. Dah, Sena teman kecil terbaikku,” bisiknya lembut di telinga Sena.
Tubuh Sena memaku di atas ayunan yang tidak berayun. Matanya membulat menatap kosong ke arah depan usai mendengar bisikan Rara. Entah mengapa ketika bisikan itu merasuk ke dalam telinganya, rasa malunya dengan perhatian orang-orang yang lalu lalang hilang dengan sendirinya. Dirinya seolah tengah dibacakan mantra oleh Rara. Hatinya merasa sedih mendengar setiap ucapan yang Rara bisikan di telinganya. Matanya ingin meneteskan air mata, namun ia cegah karena terlalu malu menangis di tempat umum. “Sudah jelas. Ini adalah karma untukku,” batinnya.