Mendung menyelimuti langit sejak tadi pagi, angin sejuk pun tak henti-hentinya menyapa, seakan tidak bosan mengabarkan bahwa hujan akan tiba, hujan sebentar lagi akan turun. Tetapi walaupun susananya mendung acara perpisahan di Pesantren Arul tetap berjalan dengan lancar dan meriah. Suasana mendung tidak kunjung pergi hingga sore, langit tampak bertambah berat awan seakan menjelma menjadi sebuah makhluk besar misterius yang mengambang di angkasa dan siap untuk menumpahkan isi perutnya. Bibi sepertinya terbawa suasana muram hari itu, sudah kali ke 7 dia menghela nafas berat dan Arul yang merasa bosan dengan senang hati akan menghitungnya, Bibi juga tampak kesal dengan jalanan macet dan mobil-mobil dihadapannya, sesekali sambil mengeluh Bibi membunyikan klakson saat ia merasa seseorang mulai menghambat pergerakan mobilnya.
"Seharusnya mereka memberikan penghargaan itu pada mu kan, Arul?" Bibi mulai bicara serius walau tatapannya tetap lurus ke jalan raya. Arul akhirnya menyadari ternyata itu yang membuat bibinya itu kesal. Padahal "Penghargaan Santri Hafalan Terbanyak" itu bukan apa-apa, Arul bahkan tidak menghafal Alquran dan hadis untuk pujian atau penghargaan. Semua itu hanya karena dia ingin, Arul merasakan sesuatu berbeda saat dia akrab dengan kitab suci yang tebal itu, dari membaca dan menghafal semua itu, Arul banyak mendapat kesibukan, pelajaran dan juga tentu saja pahala dan ketenangan hati yang selama itu terasa perlahan-lahan kehilangan cahaya. Hanya itu. Arul melempar pandangannya keluar jendela mobil, menatap hamparan langit mendung yang semakin pekat. "Itu bukan apa-apa Bi," jawabnya tenang, Bibi terdiam, ucapan Arul membuatnya tidak dapat memberi komentar. Keheningan pun menyelimuti mereka, hingga akhirnya mobil tua itu berhasil mencapai perkarangan sebuah bangunan tingkat dua sederhana dengan bunga warna-warni tumbuh di sekitarnya. Mereka tiba di rumah.
Arul memperhatikan perkarangan rumah bibinya yang penuh dengan bunga-bunga dan tempat bermain anak-anak, Arul mulai penasaran dengan kegiatan sehari-hari Bibi selama pensiun apakah bibinya mulai membuka taman belajar di rumah? Arul akan menyimpan pertanyaan itu untuk nanti, sekarang dia harus membawa barang-barangnya masuk sebelum benar-benar hujan, namun ketika ingin masuk langkahnya terhenti karena Bibi yang berjalan di depanya juga berhenti, "Arul," sahut Bibi tanpa menoleh. Arul hanya diam, namun Bibi tahu kalau dia mendengarkan dengan baik. Suasana mendung semakin pekat membuat atmosfir semakin sendu. " Bibi ingin sekali melihat mu bahagia," Sahut Bibi. Angin berhembus lebih kencang seakan mampu menghantam kepala dan mendorong kedua manusia yang berhenti di depan rumah itu kedalam.
"Bibi tahu, selama ini kamu hidup dalam bayang-bayang masa kecil mu yang pahit, tapi, Arul..," Bibi menoleh, lalu menatap Arul dengan mata yang berkaca-kaca. Ini pertama kalinya hati Arul terasa seperti teriris, dalam benaknya, apakah dia telah menyakiti bibinya? " Arul, bukankah kamu terlalu tidak adil pada dirimu? ibu mu pasti ingin kamu bahagia, dan dirimu berhak untuk itu," Bibi akhirnya masuk ke dalam rumah sambil menarik koper hitam milik Arul, sementara Arul, untuk sepersekian detik berikutnya, dia masih terpaku disana.