Sejak saat ini masih aku pertanyakan. Segenggam rasa yang muncul dalam diriku. Sebenarnya, belum pernah aku merasakan hal ini. Dia begitu antik untuk menjadi dambaan hati.
Malam ini hujan datang bersama angin dan petir. Tak biasanya hujan begitu menakutkan seperti saat ini. Tak biasanya hujan datang berombongan seperti ini. Gemerlapnya malam, aku berharap sepucuk surat datang darimu. Membawa kabar berita yang hendak membuat rasa manari-mari. Namun, sungguh rasa, hatiku pilu dan hampir saja aku anggap orang-orang disekitarku adalah benalu.
“Rasa, apakah aku mulai gila?”
Setiap jam dua belas malam aku terbangun dari tidurku. Rasa takut menyeruak dalam tubuhku. Aku bangun dengan napas tersengal, Kuambil air yang selalu aku sediakan di sebelah tempat tidurku. Tak hanya itu, bahkan, keringat dingin pun merasuk menyatu dengan piamaku.
“Rasa, tak cukupkah kau menyiksaku?”
Akhir-akhir ini aku merasa takut, entah apa yang membuat aku takut. Takut dengan mimpi itu, atau takut kahilangan. Padahal, rasa ini tetap sama, rasa ini tak enyah kemana-mana. Bukan satu atau dua kali dia datang. Tapi, beberapa kali. Bahkan, hampir tak dapat aku hitung.
Waktu itu, dia hadir memakai kemeja hijau muda seperti kesukaanku. Entah bagaimana ceritanya, aku tiba-tiba hadir tepat di depannya. Lalu, dia tersenyum memandangku. Setelah itu, dia perlahan menggenggam tanganku. Setelah itu, dia menarik tanganku untuk berjalan bersamanya. Lalu, dia membawaku ke sebuah taman. Taman yang penuh dengan bunga-bunga. Banyak sekali beraneka ragam bunga disana. Aku tak bisa mengejanya satu per satu. Dua bunga yang aku kenali, rose dan anyelir, selebihnya aku tak tau.
Rasa, dapat kau bayangkan betapa bahagianya diriku saat itu. Aku pun tersenyum setelah dia memboyongku dalam satu pelukan yang begitu lekat dan hangat. Ya, Kehangatan itu masih aku rasakan sampai saat ini. Disana tak ada satu pun manusia kecuali kita berdua. Hanya berdua saja. Kemudian, dia mengajakku duduk di kursi yang berada di taman itu, dia usap rambutku dan membelai pipiku, bahkan, hampir menciumku. Tak lama aku bangun dari tidurku tepat di jam 12 malam.
Rasa, di malam berikutnya, hujan itu datang kembali mengunjungiku. Kali ini hujan hanya datang seorang diri tanpa angin tanpa petir. Tapi, hujan begitu kejam. Semua alur sampah disapunya, semua benda terapung bahkan menyebabkan banjir. Kemudian rasa, aku malam itu begitu sangat lelah mengikuti alur jalan yang sangat macet. Aku putuskan untuk tidur saja. Rasa, dia datang lagi dengan senyum dan tatapan yang sama. Aku seperti terbius dan terjerembab di setiap tidur di malam hari. Tapi entah mengapa, seperti ada penantian dalam rasa ini. Penantian yang sangat aku tunggu.
“Rasa, apakah cintaku ini salah?”
Kali ini dia menggunakan jas hitam. Pada jas itu terdapat satu tangkai bunga rose berwarna putih yang diaberikan padaku. Setelah itu, dia genggam tanganku dan dia ajakku berlari. Berlari pelan dan bahagia. Senyum di bibirnya begitu merekah, begitu pula senyum di bibirku. Aku putuskan hari ini aku akan bahagia, aku ingin bahagia dan melepaskan rasa penatku bersamanya. Kali ini, dia membawaku ke sebuah keramaian. Tak tau siapa, aku pun tak kenal. Semua orang-orang disana bertepuk tangan dan tersenyum bahagia seolah merasakan kebahagiaan yang sedang kami rasakan saat itu. Ada yang bersorak, ada pula yang bersiul
“Selamat! Bahagia selalu,” rasa, begituah katanya
Senyumku mulai muram, aku sungguh bingung yang mereka katakana saat itu. Selamat atas apa? Bahagia atas apa?. Namun, aku tetap berlari perlahan mengikuti dia. Sehingga, tibalah di suatu tempat. Disana ada sebuah kursi yang banyak dihiasi bunga, dia mulai mengambil suatu benda yang terdapat di sakunya. Sebuah cincin. Ya! Dia mengeluarkan sebuah cincin
“Tunggu! Cincin apakah ini?”