Kukira malam itu adalah pertanda kehancuran diriku, dimana aku tak akan bisa menatap dunia lagi. Aku salah, pagi ini aku tetap ada dengan suasana yang sama. Burung yang berkicau, ayam yang berkokok serta matahari yang menyelinap masuk menembus gorden kamarku. Hujan semalam rasanya sudah memporak porandakan hatiku. Ya, Ternyata itu hanyalah mimpi semata.
“Rasa, aku mohon jangan kau teruskan perjalanan ini. Berhentilah disini, diamlah disini”
Tubuh ini lemah, mataku sembab, dan dapat dibayangkan betapa lusuhnya aku saat itu. Terlalu jauh aku terlibat dengan rasamu. Sempat aku berpikir bahwa mimpi adalah sebuah pertanda. Pertanda bahwa segala sesuatunya akan menjadi nyata. Pertanda? Hahaha….. rasanya aku ingin tertawa, karena mimpi hanyalah mitos belaka. Entahlah! Berbagai argument seolah tak dapat aku percayai. Setelah ini, aku harap tak akanada lagi rasa-rasa yang aku timbun dalam hati. Hal yang percuma, karena tak akan pernah tercium olehnya.
“Sungguh rasa, hari ini aku hanya ingin mengurung diri dalam persembunyianku, tenang dan damai diiringi lagu-lagu syahdu”
Tok tok tok…….
Suara dibalik pintu kamar terdengar nyaring membuat hatiku sedikit terperanjat
“Mel?” suara Mamah tercintaku berdengung di balik pintu sana.
Aku tak menyahut suara itu, rasanya sekujur tubuh ini masih kelu tentang mengingat kejadian semalam. Separuh nyawaku pun rasanya belum terkumpul semua. Aku pijat-pijat kening ini agar rasa pening ini berkurang.
“Mel, sarapan yuk!” Kali ini suara itu terdengar lebih keras dari sebelumnya.
Aku tersadar bahwa aku sudah berada di dunia nyata, ini bukanlah mimpi, suara Mamah terdengar jelas di telingaku.
“Iya, Mah…!” Sahutku. Tapi, aku masih dalam posisi yang sama dan belum beranjak kemana-mana. Hanya bernaung dalam lamunan, malas. Ya, Hari ini aku sangat terasa malas. Sampai aku tak sadar bahwa ini sudah lewat dari jam kantor
“Mel, Karmel!. cepet makan!” aku terperanjat kembali.Seketika aku menggunjing-gunjing rambutku yang saudah awut-awutan
Oh shiittttt….! Bayangannya tak kunjung hilang juga, bahkan di pagi hari sekalipun
“Iya-iya, Mah” teriakku segera terjun ke lantai dan berjalan menuju arah suara itu.
Setelah aku turun menyusuri anak tangga, di meja makan sudah terhampar beberapa makanan yang akan kita santap bersama
“Tumben, kamu bangunnya telat? Biasanya jam segini Mamah sudah mencium aroma parfum Japanese Cherry Blossom” ucap Mamah sembari menuangkan satu gelas air putih disisi-sisi piring yang kosong melompong
“Entahlah, Mah. Hari ini rasanya Karmel tidak ingin bergurau,” jawabku datar sambil mengalasi piring dengan nasi yang sudah tersedia di meja makan
“Kenapa?”Mamah keheranan, bertannyaseperti detektifhandal
“Emmmmm. Rasa kuah tomyam yang Mamah bikin tak pernah berubah ya?”mencoba mengalihkan pembicaraan tanpa tema itu
“Memangnya kamu ingin rasa yang seperti apa, Mel?” gertaknya
“Rasa yang indah tanpa ada sandiwara, Mah!” Dahi Mamah mengernyit keheranan.
Kami memang terbiasa berargument dengan dua makna, bercakap datar saling berkomentar. Itu adalah warisan dari Papahku yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.