Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #2

Rasa yang Tak Pernah Selesai

Langit pagi menggantung di jendela kecil, abu-abu dan kosong. Tak ada matahari, hanya bias cahaya yang merayap seperti ragu. Di dapur kecil itu, aroma sisa rempah malam tadi masih membekas di udara. Pria itu duduk di ujung bangku, memandangi panci kosong seolah masih berisi sesuatu.

Bukan lapar yang menghantuinya pagi itu, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang tak bisa dihangatkan oleh api mana pun. Tangan kirinya menyentuh pelipis, mencoba mengusir lelah yang bukan berasal dari tubuh. Lelah itu menetap di dada, seperti luka lama yang tak tahu jalan keluar.

“Aku bermimpi tentang ibu lagi,” gumamnya. Suara itu nyaris tenggelam dalam denting alat masak yang belum dibereskan.

Langkah pelan terdengar dari arah belakang. Perempuan itu masuk membawa dua cangkir teh yang mengepul ringan. Rambutnya diikat sembarangan, tapi matanya tajam membaca keheningan.

“Kalau begitu… mimpi itu belum selesai,” katanya seraya meletakkan satu cangkir di depan pria itu.

Ia hanya mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Hening adalah bahasa yang paling sering mereka gunakan. Hening yang tidak canggung, hanya terlalu akrab dengan luka masing-masing.

Di rak kayu, ada toples-toples kecil yang mereka kumpulkan dari pasar. Setiap isinya punya cerita. Daun salam dari pedagang tua yang tak bisa bicara. Lada hitam dari kapal asing yang nyaris karam. Tapi tak ada yang lebih wangi dari daun thyme yang mereka tanam sendiri.

“Dulu, aku kira kalau kita cukup sabar, hidup akan membaik dengan sendirinya,” suara perempuan itu lirih, seperti angin musim gugur yang takut menyakiti daun. “Ternyata kita cuma belajar berdamai dengan apa yang tak berubah.”

Pria itu mengangkat kepala, menatap cangkir teh. Uapnya menyerupai bentuk rumah yang tak pernah mereka miliki—selalu nyaris ada, tapi tak pernah cukup nyata untuk disentuh.

Mereka dulu bekerja di kedai orang lain, di sudut jalan yang tak pernah terang. Upahnya cukup untuk bertahan, tapi tidak untuk berharap. Setiap malam, mereka menghitung sisa bahan, mencoba membuat rasa dari apa yang tak cukup.

Lihat selengkapnya