Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #3

Nada yang Tenggelam Dalam Diam

Malam merayap perlahan seperti gelombang yang enggan pecah. Angin membawa udara asin yang tak biasa, seolah laut menorehkan ciuman terakhirnya pada daun jendela restoran. Di meja yang paling dekat dengan jendela, sosok itu duduk diam, seperti lukisan yang tak ingin dikenang.

Ia tidak mengatakan apa pun. Bahkan tak membuka mulut sejak masuk. Hanya sepasang mata bening yang terus memandangi meja kosong di hadapannya, seolah mencari bayangan seseorang yang tak lagi duduk di sana.

"Apa ia tahu kita bisa mendengar, bahkan saat tak ada suara?" pikirku sambil melangkah pelan.

Rambutnya panjang, jatuh seperti air malam. Tubuhnya dibalut kain tipis berwarna laut yang tampak basah meski udara kering. Jemarinya gemetar sedikit saat menyentuh sisi cangkir yang belum terisi. Ia tidak membawa air, tapi wangi garam menguar samar dari kulitnya.

Aku menunduk sedikit, menyambut dengan senyum yang tak terlalu lebar. “Selamat datang,” bisikku, meski aku tahu ia tak akan membalas. Lalu kutatap pria itu di dapur—satu isyarat mata cukup.

Ia mengangguk pelan, dan kembali pada alat-alatnya yang mulai bernyanyi lembut di atas nyala api.

“Dia tak mengatakan apa pun,” kataku dengan pelan, mencoba mengatur napas yang sempat tercekat. “Tapi matanya… seperti laut yang kehilangan lagunya.”

Pria itu menoleh sebentar, diam. Tapi aku tahu, ia sudah mulai merasakan nada yang harus ia ciptakan malam ini.

Aku menatap tamu kami lagi, dan mencoba lebih dekat. “Kau sendirian?” tanyaku, meski jawaban tak pernah datang. Ia hanya tersenyum kecil—senyum yang tak naik ke mata, hanya mampir di bibir.

"Kalau dunia tak memberi kita tempat... kita buat meja sendiri, dan mulai menyalakan api." Kata-kata itu kembali padaku, dari malam-malam yang dulu begitu dingin, ketika hanya ada kami berdua dan dunia yang menolak percaya.

Aku beranjak, membiarkan aroma rempah dan ikan mulai memenuhi udara. Dari sudut mataku, kulihat ia menggenggam liontin kecil di lehernya—terbuat dari sisik perak yang memantulkan cahaya, seperti serpihan bulan tenggelam.

Masakan itu perlahan hadir. Kuah keemasan, hangat, mengepul tenang. Potongan ikan putih dan kerang terbuka membentuk lingkaran lembut. Ada rempah jingga dan harum laut yang menusuk jauh ke dada, menyisakan sesuatu yang terasa seperti rumah.

Ia menatap mangkuk itu lama. Seakan takut menyentuh, seakan hidangan itu bisa mengubah sesuatu dalam dirinya.

Lihat selengkapnya