Pagi belum sepenuhnya terbangun ketika aroma seduhan kopi pertama memenuhi udara.
Langit masih dibalut kabut tipis, dan dunia di luar jendela bergeming seolah enggan bergerak.
Di balik meja kayu yang tak pernah berubah letaknya, Lyra duduk dengan tangan menggenggam cangkir hangat, matanya menatap ke dapur tempat sosok itu menyiapkan bahan.
Ia tak berkata-kata, hanya menikmati keheningan yang langka.
Detik berjalan lambat, seolah waktu memberi ruang untuk bernapas sejenak.
Namun jeda itu tak bertahan lama.
"Selamat pagi."
Suara lembut, namun dingin, menyusup ke telinga seperti kabut yang menyelinap dari celah pintu.
Lyra tersentak. Cangkirnya nyaris terlepas dari tangan.
Ia menoleh, dan sosok itu sudah duduk di kursi di sebelahnya—begitu dekat, begitu tiba-tiba.
Wajah cantik yang dingin, mata yang menyala samar merah keemasan.
Rambut hitam terurai dengan kilau seperti malam yang belum selesai.
Aura di sekelilingnya bergetar seperti gelombang panas yang tak kasatmata—bukan menghangatkan, tetapi menekan.
"Cantik… Sangat cantik." bisik Lyra tanpa sadar.
Tenggorokannya terasa kering, dan ada rasa dingin menjalari punggung.
Rasa takut yang tak bisa dijelaskan, hanya dirasakan.
"Aku tak bermaksud menakutimu," ucap wanita itu.
Ia tersenyum kecil, tapi bukan senyum ramah.
Itu adalah senyum dari makhluk yang pernah menyaksikan akhir—dan memilih untuk tetap berjalan.
Dari dapur, suara benda jatuh terdengar.
Ia, yang berada di balik meja dapur, juga terkejut.
Matanya bertemu mata Lyra sejenak, bertanya tanpa suara.
"Dia muncul begitu saja," ujar Lyra, berusaha menenangkan napasnya.
"Tak ada suara langkah, tak ada pintu terbuka…"
Dan untuk sesaat, hanya tatapan sang wanita cantik itu yang memenuhi seluruh ruangan.
"Aku datang untuk mencicipi… ingatan," katanya pelan.
"Jika kau masih menyajikannya di sini."
Nada suaranya nyaris seperti nyanyian.
Lyra berusaha mengatur nada bicara.
Tangannya sedikit bergetar, tapi ia menyembunyikannya di balik meja.
"Selalu ada tempat… untuk siapa pun yang mencari rasa."
Wanita itu menoleh ke arah dapur, mengamati lelaki yang sedang diam namun waspada.
Mata mereka bertemu. Dalam hening itu, seolah semua pertanyaan sudah diajukan, dan semua jawaban hanya tinggal ditunggu.