Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #5

Rasa yang Tak Bisa Ditaklukan

Pintu belum sepenuhnya menutup ketika suara langkah wanita itu menghilang dari ambang batas dunia mereka. Aroma sup yang tertinggal masih mengambang samar, namun kehangatan perlahan ditarik kembali oleh dingin yang ganjil. Lyra belum bergerak dari tempatnya, matanya terpaku pada noda embun yang tertinggal di gelas sang tamu sebelumnya.

Ada sunyi yang menggantung, terlalu lengang bahkan bagi pagi yang belum sepenuhnya terjaga. Tapi keheningan itu tidak bertahan lama.

Tawa—berat, dalam, dan sedikit mencemooh—menyelinap dari balik pintu, menggema pelan namun menghantam dada seperti gelombang yang menggulung. Lyra menegakkan tubuhnya, jantungnya memukul keras tanpa aba-aba. Sosok itu melangkah masuk, dengan dagu terangkat tinggi dan senyum lebar yang seolah mengenal dunia lebih baik dari siapa pun.

“Apa itu… tawa?” gumam Lyra nyaris tak bersuara, sebelum terdengar suara piring dari dapur terjatuh, menyusul keterkejutan dari dalam.

Langkah-langkah berat menggema di antara meja-meja kosong, menggantikan sunyi yang belum sempat mengendap. Sosok tinggi dengan mantel kusut warna tanah masuk tanpa ragu, matanya menyapu ruangan seolah mencari alasan untuk tertawa lebih keras. Di balik tawa yang baru saja mereda, ada sesuatu yang menekan dadaku—bukan rasa takut seperti sebelumnya, melainkan sesuatu yang… melelahkan.

Ia berdiri, tak memesan, tak memperkenalkan diri. Hanya berdiri di tengah ruang seakan seluruh dunia tengah menunggu perintahnya. Garis wajahnya tajam, senyumnya menyeringai tanpa niat ramah. Namun yang paling membuatku bergidik adalah tatapannya yang... hampa. Seperti seseorang yang telah menaklukkan segalanya, dan menemukan bahwa puncak ternyata begitu sepi.

"Aneh sekali tempat ini," katanya, nada suaranya ringan tapi mengguncang. "Kudengar dari seorang wanita murung. Katanya... di sini rasa bisa berbicara."

Aku menahan napas, mencoba menyambut seperti biasa, tapi kata-kata tercekat di tenggorokan. Untuk pertama kalinya, aku merasa kecil di hadapan seorang tamu. Seolah ia bukan datang untuk makan, melainkan untuk menantang.

Aku menelan ludah pelan, mencoba meredam gemetar halus di ujung jari. "Selamat datang," ucapku akhirnya, sedikit lebih pelan dari biasanya. “Apakah… Anda ingin memesan sesuatu?”

Ia tidak menjawab. Hanya mendekat ke meja panjang yang menghadap dapur terbuka, lalu duduk di kursi yang tadi masih hangat ditinggalkan. Kedua sikunya bertumpu, dan matanya—mata yang membawa lelah dari abad-abad panjang—menatap lurus ke arah pria di balik dapur. Tatapan yang seolah menantikan keajaiban.

“Dia yang memasak, ya?” gumamnya, separuh bertanya, separuh menantang.

Aku mengangguk. Meski suaraku tak keluar, aku tahu dia mendengarnya.

"Mari kita lihat... rasa macam apa yang bisa membuatku diam."

Lihat selengkapnya