Langkah-langkahnya nyaris tak bersuara, seolah bumi pun enggan mengganggunya. Salju melayang ringan dari langit, menyelimuti bahunya yang sempit, rambut panjang yang nyaris menyatu dengan kabut, dan kimono putih yang tampak seperti helaian kabut beku. Udara dingin menusuk, namun tak sedingin hatinya. Ia terus berjalan—lirih, hampa—di antara bayang-bayang yang hanya ia sendiri yang tahu.
Di balik matanya yang tenang, badai tak pernah berhenti mengamuk. Ia telah hidup terlalu lama, melihat zaman berganti seperti daun gugur. Awalnya manusia hanya titik-titik kecil di kaki gunungnya, menengadah dengan rasa hormat yang sederhana.
Ia tak mencintai mereka, tapi ia memperhatikan. Ia menyaksikan mereka tumbuh, berbuat salah, jatuh cinta, menangis, tertawa. Ia mulai peduli… dan itu adalah awal dari kehancaan.
“Mereka tak mengerti apa pun…”
Bisikan itu nyaris tercekik oleh amarah yang lama membeku.
Ia memberi peringatan. Berkali-kali. Ia menjaga jarak namun tetap mengawasi. Namun ketika tanah longsor datang, saat salju memakan desa-desa yang tumbuh tanpa kendali, mereka memilih menyalahkannya. Tatapan takut itu. Lemparan batu. Jerat. Ucapan kutuk. Ia tidak pernah lupa.
Ia membalas. Dengan dingin. Dengan murka. Ia memusnahkan semuanya. Bukan karena benci, tapi karena dikhianati oleh harapan yang diam-diam ia bangun sendiri.
“Salahku…”
Suaranya hanya untuk dirinya sendiri, namun menggema seperti gaung gunung.
“Salahku karena pernah percaya…”
Penyesalan itu bukan untuk kehancuran yang ia sebabkan. Bukan pula untuk darah manusia yang membeku di tanah putih. Tapi karena ia membiarkan mereka masuk ke dalam hatinya. Karena ia lupa bahwa waktu mereka terlalu singkat untuk mengerti makhluk sepertinya.
Kini ia berjalan, terus berjalan, tak tahu ke mana. Hanya ditemani angin, salju, dan kenangan yang menolak mencair. Tapi hari ini berbeda.
Sebuah cahaya hangat berpendar di kejauhan. Kecil. Lembut. Tak seperti apa pun yang pernah ia lihat sejak pengkhianatan itu. Sebuah tempat berdiri dalam senyap, namun aroma dari celah pintunya terasa hidup—menyusup lewat hidung, menyentuh sesuatu yang nyaris mati dalam dadanya.
Asap tipis menguar, membawa rasa yang tak bisa dijelaskan. Rasa yang bukan hanya tentang makanan. Tapi tentang ingatan. Kehangatan. Mungkin… pengampunan.
Pintu terbuka perlahan. Angin dingin menyelinap masuk, membungkus ruangan dalam napas musim dingin yang tiba-tiba. Hening. Semua seakan membeku dalam detik itu, seakan waktu sendiri ragu untuk bergerak.
Ia melangkah masuk. Langit di luar masih menangis serpihan salju, namun di dalam, cahaya kuning menggantung tenang dari langit-langit kayu. Aroma kaldu dan minyak panas menyambutnya—asing, namun anehnya menenangkan.
Seorang gadis berdiri tak jauh dari pintu, terkejut tapi tidak takut. Matanya memperhatikan sosok tamu baru itu: rambutnya seputih kabut pagi, kulitnya nyaris menyatu dengan udara. Tak terlihat luka atau senjata, tapi hawa yang mengikutinya membuat nyala lampu sedikit bergetar.
“Apa kau… tersesat? Atau memang datang ke mari?”
“Silakan duduk…”