Pagi belum sempat menetap. Warna langit masih campuran kelabu dan jingga yang enggan pergi, seperti tubuhku yang belum benar-benar bangun dari lelah semalam. Pel terasa berat di genggaman, dan setiap gerakan menyisakan denyut di kepala yang tak kunjung reda.
‘Mungkin hanya masuk angin… atau mungkin tubuhku mulai menyerah.’
Aku menghela napas, mencoba menenangkan perasaan yang tak biasa. Biasanya, sunyi pagi memberi ruang untuk tenang. Tapi hari ini, udara pun terasa… sedikit menyebalkan.
Lampu gantung tiba-tiba bergoyang pelan, seperti disentuh sesuatu. Lalu kursi di meja paling dalam—yang belum pernah digunakan siapa pun—bergerak sendiri. Satu derit. Dua derit. Lalu, suara.
"Ups! Maaf, aku datang tanpa mengetuk!"
Sosok itu muncul begitu saja, dari udara yang tipis. Wajahnya tak konsisten—sekejap kelinci, lalu rubah, lalu manusia… atau mungkin sesuatu di antara semuanya.
Aku terdiam. Tubuh ini sudah cukup lemah tanpa harus melihat ilusi hidup di pagi yang seharusnya damai.
"Apa ini tempat yang katanya menyajikan kehangatan dan makanan? Hmm… tidak hangat, tapi cukup lembap," katanya sembari memperhatikan pel yang kugenggam.
"Dan apa ini? Tongkat ajaib pengusir tamu?"
Aku menarik pelku dengan kasar.
"Jika kau bisa masuk tanpa pintu, semoga kau bisa keluar tanpa harus kuusir."
Nadaku dingin. Aku mendengarnya sendiri. Dan aku tak peduli.
‘Kenapa hari ini… kenapa harus hari ini juga?’
Benda-benda mulai bergeser. Vas kecil di sudut meja bergoyang seperti tertawa, daun tanaman hias terbang satu per satu seolah bermain petak umpet. Jam dinding—entah bagaimana caranya—berputar mundur selama tiga detik, lalu membeku.
"Ups… sepertinya aku menyentuh sesuatu yang tak seharusnya disentuh," kata sosok itu, sambil menyeringai.
"Aku bisa menyuguhkan teh. Atau… benang dan jarum, untuk menjahit ulang nalar yang kau koyak," ucapku, setengah berbisik.
Ia terkekeh, dan dengan cepat bergelayut di salah satu lampu gantung. Sosoknya berubah jadi bayangan berbentuk kuda kecil, lalu kembali jadi lelaki berambut berantakan dan telinga panjang yang tak simetris.
"Tempat ini menarik. Kau lebih menarik. Tapi aku rasa yang paling menarik adalah... caramu menahan marah."
Ia mendekat, terlalu dekat. Wajahnya berada hanya beberapa jengkal dari wajahku yang mulai kehilangan kesabaran.
Aku mundur, menahan napas.
‘Kau tak tahu batas. Dan aku terlalu lelah untuk mengingat cara bersikap manis.’
Ia meniupkan udara ke arah lembaran-lembaran buku menu di meja. Halaman-halaman itu terangkat lalu jatuh berantakan seperti sayap patah.
"Aku penasaran, kenapa hanya lima meja? Apa karena ini dunia kecil untuk hati-hati yang besar?" katanya sambil menginjak meja tanpa alas kaki.