Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #8

Kebisuan di Balik Sayap

Ruang itu tetap hangat. Api di dapur menyala dengan nyala kecil yang tenang. Aroma kayu bakar dan kaldu asin menggantung di udara seperti biasa, namun sesuatu terasa hilang. Meja-meja bersih, lantai bebas debu, tetapi keheningan tidak lagi menenangkan. Ia seperti lubang—menganga, menelan suara dan keberanian bersamaan.

Langkah-langkahnya terdengar terlalu jelas, seolah tembok kayu ikut menegaskan kesendiriannya. Tak ada suara langkah ringan di belakangnya, tak ada tawa kecil yang melunakkan pagi. Ia mencoba menyeduh teh, tapi cangkir terasa asing di genggaman. Ia bukan pembuka percakapan. Ia bukan penyambut tamu. Ia hanya tahu memasak.

‘Tanpa dia, restoran ini jadi separuh sunyi.’

Tangannya menyapu tirai jendela perlahan, membiarkan cahaya masuk. Bayangannya sendiri memantul di kaca, tinggi, kurus, dan terlalu diam. Ia menoleh ke arah pintu. Masih tertutup. Belum ada yang datang. Tapi ia tahu… hari ini, tamu itu akan datang. Dan ia tak siap untuk menyambut.

Pintu berderit perlahan, tanpa suara lonceng atau ketukan. Sosok itu masuk seperti bisikan angin yang tak berniat mengganggu. Langkahnya ringan, tak menyentuh tanah, seolah gravitasi tak berlaku padanya. Ia tinggi, tenang, dan begitu... asing.

Rael berdiri terpaku. Pria itu tak berkata sepatah pun. Hanya berdiri di ambang ruangan, dikelilingi aura yang membuat waktu terasa melambat. Sayap-sayapnya terlipat rapi di punggung, enam buah, tiga berwarna keemasan dan tiga perak, memantulkan cahaya dari lampu gantung. Wajahnya datar. Mata putihnya kosong, namun Rael merasa sedang dilihat.

‘Apa yang harus kukatakan?’ pikirnya. ‘Haruskah kutanya—apa kau ingin duduk? Tapi… apakah dia akan menjawab?’

Hening membentang di antara mereka. Lalu pria bersayap itu perlahan melangkah masuk, tidak menyentuh lantai sedikit pun, dan mengambil tempat di meja paling pojok—tempat yang biasanya dibiarkan kosong untuk mereka yang butuh jarak. Ia hanya duduk diam, dan tak ada yang lain. Tak ada anggukan. Tak ada sapaan.

Udara di ruangan ini tak bergetar seperti di altar-altar batu. Tak ada dupa yang menguap, tak ada doa yang melesat dalam diam. Hanya aroma minyak, nasi hangat, dan api kecil yang bergumam di sudut dapur. Ia mendengar, tapi tak dengan telinga—merasakan dunia lewat hela udara yang lewat di antara sayapnya.

‘Bentuk tubuhmu… terlalu kecil untuk semua suara yang pernah kau dengar,’ bisiknya pada diri sendiri.

Ia duduk, memandangi tempat itu. Meja dari kayu tua. Dinding berpori aroma arang. Tak ada piala emas, tak ada persembahan darah. Tapi ada sesuatu yang hampir serupa: ketulusan yang belum retak. Dan… keheningan yang tidak menghakimi.

Lihat selengkapnya