Aku duduk di meja sudut, tempat favorit yang selalu menghadap jendela. Cahaya masih belum menampakan wajahnya, tapi aroma kayu manis dan daun kering dari dapur sudah lebih dulu menyentuh hidungku. Restoran ini terasa seperti perpanjangan tubuhku—sunyi, hangat, dan sedikit lelah.
Belum ada suara dari pintu depan hari ini. Belum ada denting bel, tidak ada siluet makhluk asing dengan cerita yang tak terucap. Dan anehnya, aku tidak kecewa. Ada waktu di mana sunyi bukan pertanda sepi, melainkan ruang untuk bernapas.
‘Kadang dunia memilih diam. Mungkin, itu cara semesta memberi kita waktu untuk merapikan diri.’
Kupeluk cangkir di tanganku. Uapnya membelai pipi yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi tubuhku jauh lebih baik dari hari yang lalu. Dedaunan hijau dari makhluk nakal itu, pahit namun harum, telah meresap ke tulang-tulangku seperti mantra kuno yang tahu di mana letak luka yang tersembunyi.
Aku memandang dapur yang kosong, tapi bekas kehadirannya masih tertinggal di sana. Talenan kayu yang sedikit basah, pisau yang ditaruh dengan hati-hati, dan kain kecil yang digantung di sisi meja. Semuanya seperti bisikan pelan dari tangannya yang tak pernah berhenti bekerja, bahkan ketika dunia meminta untuk menyerah.
Dulu, kami tak punya dapur seperti ini. Hanya kompor kecil dan wajan yang harus dipakai bergantian dengan tetangga. Kadang, hujan membuat atap bocor, dan kami harus memasak sambil memindahkan ember agar nasi tak terkena tetes air dari langit yang jahat. Tapi kami tetap makan. Dengan doa, dengan diam.
"Apa kamu masih ingat nasi yang nyaris gosong itu?" bisikku, entah pada siapa. Mungkin pada kenangan. Mungkin pada dia yang masih belum turun dari lantai atas.
‘Dulu kita makan untuk bertahan hidup. Sekarang... kita memasak untuk memberi rasa pada hati yang hancur.’
Aku membuka laci kecil di sudut ruangan, tempat kami menyimpan benda-benda yang tak bisa dimakan tapi bernilai lebih dari sekadar harga. Kalung kristal yang berdenyut pelan dalam kegelapan, selembar benang merah yang tak pernah putus meski dibakar, sepotong cangkang seperti porselen yang dingin saat disentuh—semuanya adalah hadiah. Atau mungkin... pengakuan diam dari mereka yang terluka.
Sebagian dari mereka kami jual. Di dunia kami, ada satu toko barang antik yang bersedia membelinya. Letaknya jauh di ujung kota, di antara lorong-lorong yang tak selalu ada di peta. Pemiliknya tak pernah menyebut nama. Tapi matanya—sepasang mata tua yang seolah tahu lebih dari yang bisa dijelaskan—selalu menyipit puas saat menerima item-item itu, seakan mereka mengandung lebih dari sekadar keindahan.
Kami tak pernah bertanya dari mana dia tahu nilainya. Mungkin memang ada benang merah yang menghubungkan tempat ini dan toko itu. Mungkin, keajaiban mengenali sesamanya.
‘Kalau suatu hari tempat itu menghilang... apa kita masih bisa hidup seperti ini?’