Langit di luar jendela telah mengusir warna. Kabut tipis menyusup perlahan ke balik kaca, seolah menunggu izin untuk masuk. Aku menyandarkan punggung di kursi tua di dekat rak bumbu, membiarkan napas turun naik dalam irama pelan. Tidak ada suara selain bisikan kayu yang memuai oleh dingin, dan gelegak air dalam panci tembaga.
Sudah tiga hari sejak tamu terakhir datang. Tidak ada denting lonceng dari pintu, tidak ada aroma asing dari dunia lain yang menyelinap bersama kaki-kaki yang ragu. Restoran ini tenang—terlalu tenang. Tapi aku tahu, ketenangan seperti ini hanya mendahului sesuatu.
‘Mereka akan kembali,’ kataku dalam hati. ‘Mereka selalu kembali, ketika dunia mereka menjadi terlalu berat untuk dipikul sendiri.’
Aku meraih secangkir teh yang sudah mulai mendingin. Sambil menyeruputnya perlahan, aku menatap ke arah tempat duduk yang biasa diisi oleh pelanggan. Di tempat itu, seolah masih tertinggal sisa kehadiran mereka—tangis lirih dari pelanggan berwajah duka, lirikan malu-malu putri bersisik cemerlang yang selalu basah, tatapan kosong makhluk cantik berekor. Mereka datang, lalu pergi, tapi tidak pernah benar-benar hilang.
Lonceng di pintu berdenting pelan. Bukan bunyi yang mengejutkan, tapi cukup untuk membuat dadaku mengetat. Kudongakkan kepala, menanti langkah yang menyusul suara itu. Aku mendapati sosok tinggi berselubung mantel kusam berdiri di ambang.
Ia tidak seperti yang lain. Gerakannya tidak membawa rasa takut, juga bukan kesedihan yang mencuat. Ia seperti hujan pertama setelah musim panjang—tenang, namun menyimpan banyak hal yang tak dikatakan. Rambutnya panjang, berkilau perak pudar, dan matanya… matanya seolah tak menatapku, tapi melintasi dinding dan waktu.
“Selamat datang,” ucapku, perlahan berdiri.
Ia tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan lalu berjalan menuju meja dekat jendela, di mana cahaya pucat langit sendu memantulkan bayangannya ke lantai. Setiap langkahnya seperti denting waktu yang tenggelam dalam lantai kayu.
‘Makhluk tua,’ batinku, ‘tapi bukan karena usia tubuhnya. Dunia yang ia bawa jauh lebih tua dari yang bisa kupahami.’
Ia duduk tanpa berkata apa pun, meletakkan sesuatu di meja—bukan uang, bukan permata, tapi seikat ranting tipis yang terikat dengan benang emas memudar. Aroma tanah basah dan debu tua terangkat bersama benda itu, seakan ia membawa sepotong hutan yang nyaris punah.
“Jamur dan miso putih,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah, nyaris berbisik. “Jika kalian masih mengenalnya.”
Aku terdiam sejenak. Tak ada keraguan di balik kata-katanya, tapi ada luka yang tertanam dalam nadanya.
“Kami mengenalnya,” jawabku. “Akan kuberitahukan pada—”
“Rael,” potongnya, meski namanya tak pernah disebut sejak ia datang.
Aku menatapnya lekat-lekat. Entah bagaimana ia tahu. Atau mungkin, seperti yang lain, ia membaca banyak hal dari aroma dan waktu yang menggantung di tempat ini.
‘Ia tamu yang begitu unik,’ gumamku dalam hati. ‘Ia datang bukan hanya untuk menghilangkan penasara. Ia membawa kenangan yang ingin didengar.’
Ia belum menyentuh air hangat yang kusuguhkan. Ia hanya duduk di sana, jemari pucatnya menyentuh permukaan meja seperti sedang merasakan detak jantung kayu tua.
Matanya menatap ke arah jendela, tapi aku tahu pandangannya menembus jauh ke balik dinding, menembus waktu yang tak bisa kusentuh.
Dan saat ia bicara lagi, suaranya begitu pelan, seperti suara daun gugur.
“Dulu, kami tak pernah merasa lapar. Hutan memberi, dan kami menjaga. Tapi setelah langit berubah dan tanah retak, jamur pun tumbuh pahit.”