Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #11

Gaun Merah Penanti

Sudah berapa musim berlalu sejak aku mulai menjaga tempat ini? Aku tak ingat lagi kapan embun pagi pertama menetes di atap jerami, atau kapan langkah-langkah manusia terakhir menggetarkan tanahnya. Aku hanya tahu bahwa aku selalu ada di sini—di antara lumbung yang sunyi, tikar bambu yang ditinggalkan, dan bau padi yang tak pernah benar-benar hilang.

Aku tak pernah diminta. Tapi aku tetap tinggal.

Setiap pagi, cahaya menyusup dari celah papan, dan bayangan pepohonan menari pelan di dinding lumbung. Aku duduk di sudut, diam, seperti bagian dari bangunan tua ini. Seperti pagi-pagi lainnya, aku menunggu sesuatu yang bahkan aku sendiri tak mengerti.

‘Mungkin aku tak punya wujud yang bisa kau sentuh, tapi aku selalu di sini.’

Kemudian, dia datang. Lelaki dengan tubuh sedikit kekar, membawa karung padi di bahunya. Geraknya pelan tapi pasti, seperti orang yang tak ingin membuat dunia resah. Ia tak melihatku, tentu saja. Tapi aku melihatnya. Melalui debu-debu yang beterbangan, di balik anyaman bambu, aku melihatnya meletakkan hasil panennya dengan hati-hati, seolah padi itu bagian dari dirinya sendiri.

Aku tidak tahu apa yang membuatku mendekat. Mungkin caranya menyeka peluh, atau senyuman kecil yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun, hanya ketika sendiri. Atau mungkin hanya karena ia… selalu kembali.

Hari berganti musim, dan musim berganti tahun. Ia tetap datang, membawa hasil panen dan diam yang hangat. Ia tak pernah tahu bahwa setiap butir padi yang jatuh dari karungnya adalah sesuatu yang kusimpan dalam kenangan. Aku mulai terbiasa dengan irama langkahnya, dengan suara pintu kayu yang dibuka dan ditutup perlahan. Dalam kesunyian, aku merasa hidup.

Ada saat-saat ketika aku duduk di ujung balok penyangga, membiarkan rambutku melambai dalam angin. Kadang aku berpura-pura menggenggam tangannya, meminjam bayangan tubuhnya yang bergerak. Dan pada malam-malam tertentu, ketika bulan menggantung rendah dan kabut melingkari ladang, aku membayangkan ia bisa melihatku. Membalas senyumku.

‘Andai kau tahu, betapa aku menunggumu setiap pagi, seperti bumi menunggu matahari menghangatkan embunnya.’

Tapi tak ada satu pun kata. Tak ada sapaan, tak ada pandangan. Hanya kesetiaan diamku dan ketidaktahuannya yang lembut. Mungkin memang begitulah takdirku. Mencintai dalam senyap. Menunggu dalam luka yang tak bisa dijelaskan.

Sampai suatu hari… ia tak datang lagi.

Awalnya kupikir ia hanya terlambat. Mungkin hujan menahan langkahnya, atau jalanan basah membuatnya memilih menunggu esok. Tapi esok tak datang. Hanya sunyi yang tumbuh semakin panjang, merambati dinding kayu dan menyesakkan udara di dalam lumbung yang dulu terasa hangat.

Aku tetap tinggal, menatap pintu yang tak lagi berderit, berharap suara langkah itu kembali menggema di tanah. Namun tak ada jejak. Tak ada suara. Hanya gemerisik tikus dan angin malam yang tak pernah membawa namanya.

‘Kau di mana? Sudahkah kau melupakanku? Atau mungkin… aku memang tak pernah benar-benar ada untukmu?’

Aku mulai menghitung hari lewat bayangan matahari di lantai kayu. Namun cahaya pun seperti enggan menyentuh tempat ini. Lama-lama dinding lumbung menjadi asing. Atapnya retak, dan sawah di sekelilingnya mengering. Dunia seperti ikut melupakan tempat yang dulu kita bagi bersama.

Dan aku, yang selama ini menjaga dengan setia, perlahan kehilangan bentukku sendiri. Apa gunanya menunggu sesuatu yang bahkan tak tahu bahwa aku menanti?

Aku dulu memakai gaun putih. Ringan, lembut, dan harum seperti kelopak bunga yang jatuh di pagi hari. Tapi entah sejak kapan warnanya mulai berubah. Awalnya samar, seperti bayangan luka yang tak sempat disebutkan. Lalu meresap pelan—merah seperti nadi yang pecah dalam diam.

Rambutku, yang dulu kusisir perlahan saat ia datang, kini mengeriting sendiri dalam simpul-simpul kegelisahan. Angin tak lagi bermain di ujungnya. Ia hanya menggoyang-goyangkan kesunyian, seperti sedang menertawakanku.

‘Apa yang telah kulakukan hingga harus menunggu sebegini dalamnya? Mengapa aku yang tertinggal, dan bukan ia?’

Kemarahan itu datang seperti kabut: tak terlihat, namun mengubah segalanya. Aku masih ingin melindungi tempat ini, tapi hatiku mulai berbisik hal-hal yang tak seharusnya. Dendam yang dulu tak kukenal kini duduk di sudut mataku, memandang tanpa berkedip.

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai melangkah menjauh. Tak ada suara lonceng atau daun jatuh yang memberitahu bahwa inilah waktunya. Tapi satu pagi yang sepi, saat embun tak lagi mencium tanah, aku berdiri di depan lumbung itu untuk terakhir kalinya.

Tak ada yang perlu dikatakan. Tempat ini telah menyerap segala bagianku—tangis, tawa, rindu, dan kehampaan. Tapi hari itu, aku hanya diam. Lumbung tetap berdiri, tua dan terabaikan, seperti hatiku yang tak tahu lagi bagaimana harus tinggal.

‘Jika aku tak lagi ditunggu, untuk apa terus menunggu?’

Aku berjalan. Bukan karena tahu ke mana harus pergi, tapi karena tahu tak bisa lagi tinggal. Angin membawa gaunku yang kini sewarna luka. Dan langkahku terasa seperti gema yang mencari arti—di dunia yang tak lagi menyisakan ruang untuk penantian.

Langit tak memberikan petunjuk. Hanya abu samar yang menggantung di cakrawala. Aku tak tahu berapa lama telah berjalan—melewati ladang yang tak ditanami, jalan setapak yang dipenuhi bayangan kenangan, hutan yang membungkam segala isak, kota yang nyari menjadi reruntuhan.

Lalu, di ujung yang sepi, aku melihatnya.

Sebuah tempat kecil berdiri dengan cahaya hangat yang tumpah dari jendelanya. Dinding kayunya berlumur waktu, namun tidak runtuh. Lampu-lampu yang menggantung rendah berpendar seperti kunang-kunang yang menolak mati. Aku berdiri mematung di ambang pintu yang terbuka, seolah rumah itu tahu aku akan datang.

‘Tempat ini… tak terasa asing. Tapi aku tak pernah ke sini sebelumnya, bukan?’

Lihat selengkapnya