Langit di atas sana masih kelabu, meski tidak ada hujan. Angin di luar terasa seperti bisikan dunia yang telah melupakan namanya. Ia melangkah perlahan, pintu restoran itu terbuka dengan denting kecil, seolah menyambutnya bukan sebagai tamu, tapi sebagai sisa dari sesuatu yang dulu pernah ada.
Di dalam, aroma kayu hangat bercampur dengan kelembutan sesuatu yang sedang direbus. Ia tidak menoleh ke siapa pun. Ia hanya mendekati meja yang tak pernah dipakainya, lalu duduk. Tidak angkuh. Tidak takut. Hanya diam. Dan letih.
‘Mungkin… cukup untuk hari ini.’
Segelas bir diletakkan di hadapannya. Dingin. Kekuningan. Buihnya merayap pelan ke pinggir gelas, seperti sisa emosi yang tak pernah sempat diseka. Di sebelahnya, semangkuk kacang rebus mengepulkan uap tipis. Hangat. Sederhana. Seperti sesuatu yang hampir ia lupakan.
Ia menatap keduanya lama. Tak menyentuh. Tak berkata.
‘Lucu, betapa damai bisa terasa menakutkan.’
Langkah pelan mendekat. Gadis itu—Lyra—memandangnya seperti seseorang yang pernah tahu luka. Dan lelaki di dapur itu… tetap menyiapkan hidangan seperti biasa, seolah tak mengenalnya. Atau mungkin, justru itulah bentuk penerimaan paling tulus: tidak mengungkit masa lalu.
“Aku datang… bukan untuk makan,” ucapnya akhirnya, suaranya berat dan dingin seperti gelas bir yang digenggamnya.
Ia mengangkat gelas itu perlahan. Menyentuh bibirnya, tak meneguk. Dinginnya menusuk lidah, tapi tak bisa menenangkan apapun yang terbakar dalam dirinya.
“Aku hanya ingin… bilang terima kasih,” katanya nyaris seperti gumaman. “Untuk mereka. Yang kalian beri rasa.”
Ia menoleh ke arah dapur. Tak ada balasan. Tapi aroma kacang rebus kian menyebar, membawa ingatan yang bukan miliknya.