Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #13

Di Antara Damai dan Pasrah

Pagi datang tanpa suara. Hanya cahaya abu dari langit yang membias lewat celah jendela, menyorot meja kayu yang belum sempat kami bersihkan semalam. Wangi samar kaldu yang mengering masih mengendap di udara, bersaing dengan aroma kopi yang baru saja kupanaskan. Tapi meski semuanya terasa sama… hatiku tidak.

‘Setelah semalam… apakah semuanya masih bisa kusembunyikan?’

Aku dan dia belum berbicara sejak tamu terakhir meninggalkan kursinya. Kami saling membantu membereskan dapur dan menutup restoran tanpa kata, seolah setiap bunyi akan mengguncang apa yang sedang kami tahan dalam diam. Tapi pagi ini, bahkan keheningan terasa terlalu bising.

‘Kalau aku diam, aku berdusta. Tapi kalau aku bicara, mungkin aku menyakiti.’

Tanganku gemetar saat menuang kopi ke dalam dua cangkir. Uapnya naik perlahan, hangat namun tak menenangkan. Ia duduk di seberang meja seperti biasa, menyandarkan punggungnya di kursi dengan tatapan lelah yang tak bisa kusebut bahagia atau kecewa.

Aku menatap kopi dalam cangkirku. Permukaannya tenang, tapi di bawahnya, panas perlahan merayap. Sama seperti hatiku yang menyimpan terlalu banyak sejak semalam.

‘Aku harus katakan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?’

“Aku mendengar sesuatu tadi malam,” kataku pelan, mencoba memilih kata sebijak mungkin. “Dari… tamu terakhir kita.” Suaraku hampir tak terdengar, seolah takut mengusik ketenangan pagi yang rapuh ini.

Ia mengangkat wajah, menatapku dalam diam. Sorot matanya tak bertanya, tapi juga tak menghindar. Hanya menunggu—dan mungkin juga sudah tahu.

‘Jangan menjauh… aku hanya ingin kau tahu.’

“Namanya… Vaelith,” lanjutku. “Dia bukan makhluk biasa. Dan restoran ini… tempat kita sekarang… bukan berada di dunia kita.” Rasanya seperti mengakui mimpi buruk yang tak kunjung usai.

Ia tidak langsung menjawab. Tangannya memutar cangkir, menciptakan lingkar-lingkar samar dari tetesan air di atas meja. Napasnya tertahan sejenak, seperti sedang menimbang antara percaya… atau hanya menerima.

“Apa maksudmu bukan dunia kita?” akhirnya ia bertanya. Suaranya rendah, tidak marah, hanya lelah dan pelan—seperti seseorang yang tahu bahwa semua jawaban akan mengubah segalanya.

Aku mengangguk pelan, mencoba menjelaskan tanpa membiarkan diriku runtuh. “Tempat ini… bukan hanya restoran, Rael. Ini jendela ke dunia lain. Dunia yang disebut Dravorya. Dunia yang… entah bagaimana, memanggil kita ke dalamnya.”

Lihat selengkapnya