Hutan di belakang reruntuhan kota itu sunyi. Angin hanya berani berbisik, dan dedaunan terlalu letih untuk jatuh. Aku duduk di atas batu yang lembab, memeluk kedua lututku, menyembunyikan wajah di antara lengan.
Sudah beberapa malam aku di sini. Tak ada tempat untuk kembali, tak ada suara yang memanggil pulang. Aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
‘Aku hanya ingin bertahan.’
Suara langkah yang tak kukenal mengusik tanah. Aku menoleh. Seorang pria berjubah hitam berdiri tak jauh, tubuhnya tinggi dan tenang seperti bayangan malam. Ia tidak berbicara, hanya menatap. Aku pun diam, mematung dalam ketakutan yang tak tahu arah.
Namun dia tidak mengusirku.
Hanya berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapanku. Di tangannya, selembar kain ungu yang dilipat rapi.
“Untukmu,” katanya lirih. Suaranya dingin, seperti angin yang datang dari tempat yang jauh.
Aku menerima kain itu dengan tangan ragu. Ada tulisan di permukaannya, namun huruf-hurufnya seperti bentuk aneh yang tak bisa kuterjemahkan.
“Apa ini?” tanyaku pelan, suara nyaris tak terdengar.
Dia memandangku sejenak sebelum menjawab, “Isinya hanya satu permintaan. Dan satu harapan.”
Lalu ia menoleh ke arah jalan kecil yang menuju ke bangunan tua dengan cahaya temaram dari balik jendelanya. “Masuklah. Di sana… ada orang yang bisa memahami rasa sakit, bahkan tanpa kata.”
Aku menunduk, mengeratkan kain itu dalam pelukanku. Saat aku kembali mengangkat kepala, pria berjubah itu sudah pergi. Tak ada suara langkah, tak ada jejak. Hanya sunyi, dan malam yang terasa lebih dalam dari sebelumnya.
Dengan napas yang gemetar, aku berdiri.
Aku—yang tak bisa membaca, yang tak punya tempat—melangkah perlahan menuju pintu tempat itu. Tanganku mendorongnya pelan, dan…
Denting lonceng menggema sekali.
Denting itu datang sekali. Lalu hening kembali menyelubungi ruang kecil kami yang masih tersisa aroma kopi dan embun pagi.
Aku dan dia saling menatap dalam diam. Tak ada pelanggan yang seharusnya datang sepagi ini. Kami bahkan belum membuka tirai, belum menyalakan lampu gantung. Dunia di luar sana… masih tersimpan rapat dalam kabut.
Tapi langkah kecil itu terdengar. Ringan, seperti bisikan hujan di musim yang salah. Lalu suara engsel pintu berderit perlahan.
Aku membeku.
‘Pintu itu... terbuka?’
Rael meletakkan cangkirnya. Aku menoleh perlahan, dan di sana—berdiri di ambang pintu yang terbuka sendiri, seolah mengundang angin dan takdir—seorang gadis kecil menatap ke arah kami dengan mata yang lelah namun jernih.
Rambutnya panjang berantakan dan berwarna hijau gelap. Dua ekor mungil menjulur dari punggungnya, bergoyang pelan dengan gerak gugup. Tangannya memeluk sebuah kain berwarna ungu yang tampak lebih bersih dari pakaiannya.
Dia tidak mengatakan apa-apa. Tidak juga tersenyum.
Rael berdiri terlebih dahulu, tapi aku lebih dulu melangkah.