Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #15

Hubungan yang Muncul di Tempat Asing

Langit masih kelabu saat aku membuka jendela kecil di balik tirai kayu. Kabut belum surut sepenuhnya, dan aroma pagi terasa seperti embusan nafas seseorang yang baru saja bangkit dari mimpi buruk. Di sudut ruangan, gadis itu masih tertidur. Rambutnya kusut seperti ilalang yang dilupakan angin, dan pakaian yang ia kenakan tampak lebih seperti sobekan kenangan daripada pelindung tubuh.

Aku menghela napas pelan. Kain ungu yang semalam masih kugenggam kini terlipat rapi di meja, seolah menunggu keputusan yang belum bisa kuambil. Kalimat yang tertulis di atasnya—meski singkat—masih terpatri jelas: Maafkan aku. Biarkan ia tinggal dan belajar memahami luka dari tempat ini.

‘Belajar memahami luka… Seolah tempat ini benar-benar sekolah bagi duka yang tak selesai.’

Aku berjalan perlahan, menghampiri tubuh kecil itu. Ekor rubahnya, yang semalam kuperhatikan samar, kini tampak menggulung lemas di samping tubuhnya. Dua helai, tipis, tapi nyata. Entah mengapa, hanya dari bentuknya, aku tahu ia makhluk yang begitu unik. Tapi melihat wajahnya yang damai saat tertidur, aku pun tahu satu hal lain—ia masih anak-anak.

Aku duduk di kursi dekatnya dan mengamati wajahnya dari dekat. Ada bekas tanah kering di pipi dan tangan, juga goresan kecil di lutut yang menghitam karena debu. Kukunya pecah di beberapa tempat. Ia tampak seperti seseorang yang telah lama berjalan tanpa tujuan, tanpa arah, dan… tanpa nama.

“Aku tak bisa membiarkanmu bekerja seperti ini,” gumamku lirih.

Pagi ini, untuk pertama kalinya, aku tak memikirkan pelanggan. Tak memikirkan bagaimana menyambut jiwa-jiwa yang membawa luka ke dalam restoran. Fokusku hanya satu: gadis rubah ini—makhluk kecil yang entah dari mana datangnya, dan membawa banyak pertanyaan bersamanya.

Aku bangkit perlahan, mengambil baskom kecil dan kain bersih dari lemari dekat dapur. Suara langkahku membuat telinganya sedikit berkedut, lalu matanya terbuka perlahan. Iris matanya kehijauan, mirip lumut basah di celah batu. Ia menatapku dengan campuran bingung dan malu.

“Kau terbangun,” bisikku, berusaha tak membuatnya terkejut.

Ia mengangguk perlahan, lalu duduk. Rambutnya menutupi sebagian wajah, dan aku melihatnya mencubit ujung bajunya seolah mencari tempat untuk bersembunyi.

“Ayo,” kataku sambil tersenyum, “aku akan membantumu bersih-bersih dulu sebelum yang lain melihatmu.”

“Yang lain?” suaranya pelan, nyaris tak terdengar.

Aku tak langsung menjawab. Hanya membelai pelan kepalanya dan menunjuk ke arah baskom yang kubawa. Ia tampak ragu, tapi akhirnya mengikuti. Mungkin karena kelembutan lebih mudah dipercaya daripada janji.

Air hangat menetes perlahan dari kain ke atas kulitnya yang pucat dan lembut. Aku mengusap lengannya dengan hati-hati, menghindari goresan-goresan kecil yang tampak seperti sisa kenangan buruk. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali melirikku dengan mata ragu yang penuh pertanyaan.

“Ini tidak sakit, kan?” tanyaku pelan, sambil memeras air dari kain ke telapak tangannya.

Ia menggeleng. Tapi ekornya—yang sejak tadi melingkar rapat—mulai bergerak sedikit. Tidak liar, hanya perlahan, seolah tubuhnya sendiri sedang menimbang apakah tempat ini cukup aman untuk bersandar.

“Namamu siapa? Aku lupa.” aku bertanya sambil mulai menyisir rambutnya dengan jari.

“Rinari,” jawabnya akhirnya. “Itu… yang pernah memanggilku begitu… aku suka nama itu.”

Aku mengangguk, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang muncul. Ada sesuatu yang polos dalam cara ia mengucapkannya, seperti anak yang baru belajar mengikat tali sepatu tanpa bantuan.

Aku mengganti air di baskom, lalu membawa sehelai pakaian bersih yang pernah kusimpan untuk darurat. Meski ukurannya terlalu besar, setidaknya tidak robek dan bisa membuatnya merasa lebih hangat. Saat aku menyodorkannya, ia memeluk baju itu erat-erat, seolah baru saja diberi hadiah terindah di dunia.

“Terima kasih…” katanya lirih, hampir tenggelam dalam lipatan kain yang harum sabun.

Aku duduk di sisi meja, menunggunya mengenakan pakaian bersih. Kabut di luar mulai menipis, dan cahaya lembut dari jendela memperlihatkan rambutnya yang kini tampak lebih gelap—hijau kusam seperti rumput laut yang hanyut terlalu lama.

‘Nori…’ gumamku dalam hati. Nama itu nyaris keluar tanpa sadar.

Setelah ia duduk di kursi dengan pakaian baru dan rambut yang belum sepenuhnya kering, aku menghidangkan secangkir air hangat untuknya. Ia menerima dengan dua tangan, lalu menatapku sejenak.

“Tadi… kau tanya kenapa aku bisa ke sini,” katanya pelan. “Aku enggak tahu pasti, tapi… aku sedang duduk dekat gerbang kota. Lalu ada pria berjubah hitam… dia enggak bilang banyak. Cuma kasih aku ini.”

Ia menunjuk ke arah meja, tempat aku meletakkan kembali kain ungu semalam. “Aku tanya itu tulisan apa… dia bilang ‘pesan’. Lalu menyuruhku masuk ke sini.”

“Pria itu… tinggi dan wajahnya tersembunyi?"

Ia mengangguk.

“Rasanya…” lanjutnya, “…dia bukan orang jahat. Tapi aneh. Rasanya… seperti hujan yang tidak basah.”

“ Beberapa waktu lalu aku masuk kota ini, salju turun,” ia mulai bercerita sambil menatap uap dari cangkirnya. “Awalnya aku pikir itu hanya kabut dingin, tapi tiba-tiba semuanya membeku. Tanah jadi es. Dinding-dinding tua penuh bunga es.”

Aku memandangnya dalam diam. Suaranya tidak gemetar, tapi jelas ada sesuatu yang tertinggal dari pengalaman itu.

“Lalu… aku lihat sosok berjalan pelan. Ia seperti bayangan salju. Aku cuma bisa diam. Aku enggak tahu kenapa, tapi saat dia melewati aku… aku merasa sangat sedih. Tapi enggak takut.”

“Setelah dia pergi… kota ini jadi tenang. Salju berhenti. Es mencair perlahan.”

Lihat selengkapnya