Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #16

Nada yang Tertinggal di Tenggorokan

Langit di atas reruntuhan berwarna kelabu, seperti nada-nada yang dulu pernah ia nyanyikan: pudar, menggantung, dan tak pernah sampai ke telinga siapa pun. Angin yang melewati dinding-dinding retak membisikkan gema masa lalu, namun tak satu pun yang cukup kuat untuk menggetarkan dawai jiwanya.


Di punggungnya, kecapi tua itu masih tergantung, terikat oleh tali coklat yang pernah ia anyam sendiri. Setiap langkah membawanya melewati jejak-jejak kenangan yang telah membatu, namun tak satu pun melahirkan lagu baru. Ia telah berjalan jauh, melintasi bukit, rawa, dan padang kosong—namun baru kali ini ia merasa… nyaris mendengar sesuatu. Sesuatu yang berasal dari kedalaman dada. Bukan lagu. Tapi rasa.


‘Apakah ini... rasa lapar?’


Ia tersenyum samar, hampir geli sendiri oleh pikirannya. Fae sepertinya tak mudah lapar. Tapi tubuhnya… tubuh ini bukan milik ilusi. Ia butuh kehangatan.


Di antara kabut yang bergulung dan tembok tinggi yang tak ia kenali, aroma itu datang: harum, gurih, dan asing. Seolah ada sesuatu yang sedang mendidih perlahan dalam panci tanah liat, memanggil siapa pun yang terluka untuk datang.


Ia mengangkat wajahnya. Di sana, di ujung jalan yang retak, tampak bangunan dengan cahaya lembut yang menjulur dari celah jendela. Tidak megah, namun… ada sesuatu yang hidup di sana. Seperti api lilin dalam ruangan gelap.


Ia melangkah pelan. Jubahnya menyapu tanah berdebu. Suaranya masih hilang, tapi ia tak perlu menyanyikan apa pun untuk mendekat. Kadang, keheningan lebih jujur dari lagu mana pun.


‘Jika aku tak bisa menciptakan nyanyian baru... mungkin, setidaknya aku bisa mendengarkan satu.’



Suara pintu kayu tertutup perlahan. Udara di dalam restoran tetap hangat, namun aku bisa merasakan hawa lembut yang dibawa perempuan itu dari luar. Ia duduk dengan tenang, menatap meja kosong seolah sedang membaca kisah yang tertulis di atasnya. Sorot matanya tidak kosong—justru terlalu penuh. Seperti seseorang yang menyimpan lautan tapi tak tahu ke mana harus menumpahkannya.


Aku baru akan menyapa ketika Rinari lebih dulu melangkah ke arahnya.


“Selamat datang... mau duduk di sini?” ucapnya dengan suara polos namun tak berlebihan. Ia menunjuk kursi dengan ekornya mengibas pelan, tidak terlalu ragu, tapi juga tidak berani.


Perempuan itu mengangguk. Sekilas ia menatap Rinari, lama, seolah sedang menilai sesuatu. Tapi lalu senyum kecil mengembang di wajahnya. “Kau bukan pelayan biasa, ya?” katanya pelan.


Rinari tertawa ringan. “Aku baru belajar hari ini.”


‘Dan entah kenapa, kau berhasil membuat tempat ini terasa lebih hidup,’ pikirku dalam diam. Tanganku refleks merapikan apron, padahal tidak ada yang perlu dirapikan. Aku hanya... sedikit bingung. Rinari yang canggung justru berhasil menjembatani kebisuan yang biasa menyelimuti kami saat pelanggan datang.



Saat Rael mulai menyiapkan makanan, aroma khas mulai memenuhi udara. Jahe yang dipipihkan dan merica hitam yang dihancurkan perlahan berpadu dengan uap kaldu yang mendidih. Aku melihat Rinari mengerjap cepat. Ekor di belakangnya bergetar sedikit—ke kiri, lalu ke kanan. Gerakannya makin cepat seiring aroma yang menguat.


‘Lucu sekali,’ aku tersenyum. ‘Bahkan saat dia diam, tubuhnya berbicara lebih jujur dari siapa pun.’


Lihat selengkapnya