Langkah-langkah berat itu nyaris tak terdengar saat melewati ambang pintu. Hanya aroma gandum dari botol di tangannya yang lebih dulu mengisi ruangan, bersama aura kuno yang menempel seperti debu zaman. Tubuhnya pendek dan kokoh, janggut perak tersisir rapi, dan matanya seperti mengukur ruang tanpa pernah benar-benar berkedip.
Ia tidak langsung duduk. Tangannya meraba permukaan meja kayu, memeriksa tekstur ukiran sederhana yang menyatu dalam kehangatan ruangan. Pandangannya menyusuri langit-langit, lampu gantung, hingga tanaman di sudut ruangan yang merunduk lembut seperti tunduk pada ketenangan yang diciptakan tempat ini.
‘Tempat seperti ini tidak dibuat untuk bertahan… tapi untuk diingat.’
Ia menarik kursi dengan satu tarikan mantap, duduk tanpa suara. Gelas Amberwheat dituangkan perlahan oleh Rinari, yang tak berkata sepatah pun—seperti tahu tamu ini membaca dunia dari keheningan. Lyra mengamati dari belakang, senyap namun waspada.
“Terima kasih,” ucap dwarf itu, suaranya dalam dan padat, seperti bebatuan yang mengalirkan gema.
Rael berdiri di dapur, hanya memandangi siluet lelaki kecil itu dari balik uap air dan dentingan logam. Ia bisa merasakan bahwa ini bukan tamu biasa—tak ada tatapan kosong atau harap sembarangan dalam matanya. Dwarf itu menatap ruang ini seolah sedang membaca manuskrip dunia yang telah terlupa.
‘Ia tak datang untuk makan… ia datang untuk memahami.’
Sang juru masak menarik napas, menyiapkan bahan pertama yang paling ia yakini: tumis jantung ayam dengan jahe yang hangat dan bersahaja. Suara gemeretak api dan harum rempah memenuhi dapur. Ia menyusun piring itu dengan ketelitian yang tak tergesa, lalu membawanya sendiri ke meja tamu.
Dwarf itu menatap piring tanpa bicara. Ia menyuapnya perlahan, mengunyah, lalu menatap gelasnya sebelum kembali ke makanan.
“Aku bisa menghargai ini,” katanya akhirnya. “Tapi ia datang terlalu cepat. Belum sempat aku siap mendengarnya.”
Rael hanya menunduk sedikit, lalu kembali ke dapur dengan langkah perlahan. Tak ada rasa marah, hanya benih sunyi yang tumbuh dalam dada. Ia menatap bahan-bahan lain yang menanti—seolah bertanya pada mereka, bukan pada dirinya.
‘Apa rasa yang akan didengar batu?’
Kakiage mulai digoreng. Sayuran dipotong tipis, direndam sebentar, lalu ditabur tepung dan dijatuhkan ke dalam minyak panas. Aroma gurih mulai memenuhi dapur, tapi di luar sana, suara langkah berat kembali bergema pelan.
Dwarf itu bangkit dari kursinya, membawa gelas Amberwheat di satu tangan. Ia berjalan menyusuri sisi ruangan, matanya menyisir detil demi detil—pegangan pintu, lantai kayu, bahkan sambungan antarkayu yang nyaris tak terlihat.
Ia berhenti di dekat sebuah bangku, menelusuri ukiran melengkung di sisi kakinya. Jarinya menyentuh permukaan halus, lalu menoleh ke arah Rinari yang tengah berdiri diam di dekat tanaman gantung.
“Bagaimana cara manusia membuat ukiran seperti ini?” tanyanya dengan suara rendah tapi jelas.
Rinari memiringkan kepala, telinganya bergoyang sedikit. Ia mengedip perlahan, lalu ekornya bergerak membentuk lengkungan kecil, seperti tanda tanya yang melayang di udara.
Dwarf tersenyum tipis dan mengangguk, seolah jawaban itu sudah cukup.
“Kadang tak perlu tahu caranya… hanya perlu tahu bahwa ia mungkin,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri daripada siapa pun.
Di dapur, Rael meletakkan kakiage di atas piring keramik datar. Ia menambahkan taburan ringan garam matcha dan potongan kecil lobak parut. Lalu ia membawa hidangan itu dengan hati yang sedikit lebih ragu dari sebelumnya.
Piring kedua diletakkan di hadapan tamu dengan keheningan yang lembut. Dwarf itu duduk kembali tanpa berkata, mengangkat sepasang sumpit yang disiapkan di sisinya, dan menyentuh kakiage dengan rasa ingin tahu yang nyaris arkeologis. Ia menggigit perlahan, membiarkan rasa menyebar dalam mulutnya, lalu menatap ke arah gelasnya yang sudah setengah kosong.