Pagi selalu datang pelan. Seperti embun yang tidak suka membangunkan siapa pun.
Aku duduk di bangku dekat jendela yang menghadap ke timur. Cahaya tipis masuk lewat sela-sela kayu dan menyentuh permukaan meja seperti jari hangat. Di depanku, secangkir kopi mengepul pelan. Pahit, katanya. Tapi rasanya seperti pelukan yang tidak memaksa.
"Aku suka pagi," bisikku, entah pada siapa. Mungkin pada cangkir. Mungkin pada diriku sendiri.
Lyra duduk tidak jauh dariku, menyendok potongan kecil dari semangkuk bubur hangat. Ia tidak banyak bicara pagi ini. Tapi senyumnya cukup.
Rael di belakang meja dapur, sedang memotong sesuatu. Suara pisaunya tenang. Seperti napas batu.
Aku melihat baki kayu yang telah disiapkan. Ada dua piring kecil, satu cangkir tembikar, dan serbet bersih yang dilipat rapi.
"Hari ini, aku yang antar ya," ucapku pelan, cukup agar terdengar.
Rael hanya menoleh sebentar, lalu kembali pada potongan bahan di depannya.
Aku mengangguk. Itu berarti ya.
Aku menyukai tugas ini. Membawa rasa dari dalam ke luar. Seperti menjahit kehangatan ke dalam kota yang dingin.
Tanganku menggenggam nampan pertama. Untuk bard. Ia selalu duduk di depan restoran sejak matahari belum sepenuhnya naik. Duduk diam, memainkan alat musik, dan menatap entah ke mana. Kadang, aku merasa ia sedang mendengarkan sesuatu yang tak terdengar olehku.
Aku melangkah pelan ke pintu. Hawa pagi menyambut seperti selimut yang masih setengah terbuka.
Di luar, jalan batu membentang tanpa suara. Dan di ujung kursi kayu panjang itu—dia sudah ada.
Aku mendekatinya dengan hati-hati. Petikan senarnya nyaris tak terdengar, tapi aku bisa merasakannya menari di udara.
Ia tidak menoleh saat aku tiba, tapi sedikit mengangguk ketika aku letakkan makanan di sisinya.
"Ini... masih hangat," kataku.
Tak ada balasan, hanya senyum kecil dan senar yang berganti nada. Lalu suara lirih menyusul, seperti gumaman yang hampir hilang:
"Terima kasih, penjaga pagi."
Aku tidak tahu maksudnya. Tapi aku suka cara ia menyebutku seperti itu.
Penjaga pagi.
Lucu. Tapi hangat.
Aku berdiri sejenak di sana. Menatap jalanan kosong, bangunan tua yang mengelilingi kami, dan cahaya pagi yang mulai menimpa dinding restoran.
Lalu kembali masuk. Masih ada satu baki lagi. Dan perjalanan yang sedikit lebih jauh.
Aku kembali ke dalam restoran, mengambil baki kedua.
Piring ini berisi makanan yang sedikit lebih padat. Mungkin karena tubuhnya lebih kuat, atau karena ia tidak terlalu banyak bicara, jadi rasanya makanan yang hangat bisa mewakili kata-kata yang tak diucapkan.
Cangkirnya tinggi dan berat, berisi minuman kuning tua yang menguarkan wangi pahit dan tebal. Rael menyebutnya amberwheat.
Katanya, minuman itu cocok untuk makhluk yang keras kepala dan keras hati. Tapi aku rasa... minuman itu juga menyimpan rasa hangat yang diam-diam.
Aku membuka pintu depan lagi. Cahaya pagi masih ada, tapi kini lebih terang.
Suara bard masih mengalun, entah lagu yang sama atau lagu baru—semuanya terdengar seperti mimpi yang belum selesai.
Aku memberi anggukan kecil padanya saat melewati kursi tempat ia duduk. Ia hanya mengangkat bahu dan kembali menunduk pada petikannya.
Langkahku berbelok ke arah kanan restoran.
Menuju bagian kota yang berbeda.
Tempat yang belum pulih. Belum hidup. Tapi tidak sepenuhnya mati.
Jalanan ini lengang. Dinding-dinding batu menjulang setengah hati, seperti orang yang ingin berdiri tapi lupa caranya.
Atap-atap runtuh menyisakan bayangan yang terbuka.
Tanaman liar tumbuh dari sela batu dan retakan jalan, seolah mereka yang paling berani tinggal di sini.
"Kota ini seperti cerita yang hilang halaman akhirnya," bisikku.
"Tapi aku suka berjalan di dalamnya. Rasanya seperti menyentuh waktu."
Aku melihat rumah tanpa jendela, tembok yang retak seperti kulit tua, dan bekas-bekas tangga yang mengarah ke pintu yang tak ada.
Aku tidak tahu siapa yang pernah tinggal di sini. Tapi aku merasa... mereka pernah tersenyum.
Debu naik sedikit saat aku melangkah. Baki di tanganku tetap stabil.
Dan di ujung jalan, gerbang tua itu menunggu—dengan batu-batu berserak dan satu makhluk kecil berdiri di tengahnya.