Cahaya siang menembus celah jendela dan jatuh lembut ke permukaan meja. Asap tipis dari secangkir kopi melayang perlahan, membentuk jejak-jejak samar sebelum lenyap di udara hangat yang tenang. Di luar, langit tanpa awan membentang seperti lembaran kertas tua, dan suara bard terus bergema—lirih, rendah, tak pernah benar-benar berhenti.
“Aku suka hari seperti ini,” gumam Lyra, menyandarkan dagunya ke tangan sambil memandang keluar.
Rinari duduk di dekat pintu, ekornya menggeliat kecil seolah mengikuti irama yang dimainkan dari luar. Ia tidak menjawab, hanya menolehkan kepala sedikit dan mengangguk pelan, matanya menyipit diterpa cahaya siang. Telinganya yang tajam tampak lebih aktif dari biasanya, seperti sedang menangkap sesuatu yang tak bisa didengar oleh dua manusia di ruangan itu.
Rael berdiri di belakang dapur terbuka, tangannya sibuk mengaduk perlahan kuah kaldu yang mengepul di atas api kecil. Ia tak bicara, namun sekali-sekali melirik ke arah jendela yang terbuka sebagian, membiarkan aroma luar bercampur dengan hangatnya ruang.
Suasana itu nyaris sempurna. Seperti potongan hari yang dibingkai rapih, diam dan tenang, tanpa tanda bahaya.
Sampai tanah bergetar.
Bukan guncangan besar, hanya getaran pendek dan berat, seperti suara batu besar jatuh dari ketinggian. Gelas di rak bergetar pelan. Telinga Rinari menegang. Suara bard terhenti, digantikan dentum yang berat dan dalam—seperti langkah makhluk besar yang berlari.
“Itu…” gumam Rinari lirih, dan sebelum siapa pun sempat bertanya, ia sudah berdiri dan membuka pintu depan dengan satu gerakan cepat.
Angin dari luar menyeruak masuk. Membawa debu, aroma tanah, dan sesuatu yang lebih tajam—seperti bau darah samar yang tertinggal di udara.
Pintu belum sepenuhnya menutup saat Lyra berdiri dari kursinya, langkahnya terhenti hanya beberapa jengkal dari ambang. Cahaya luar menerobos masuk, memantulkan bayangan Rinari yang telah menghilang di kejauhan, hanya menyisakan debu yang belum sepenuhnya jatuh.
“Dia pergi begitu saja…” bisik Lyra, seolah belum yakin apa yang baru saja terjadi.
Rael mendekat dari dapur, masih menggenggam lap kain yang kini berhenti bergerak. Ia berdiri di samping Lyra, matanya menatap pintu yang terbuka, namun langkahnya tetap diam.
Angin dari luar membawa suara samar—bukan teriakan, bukan auman, hanya dentuman berat dan napas berat yang putus-putus. Sekilas, terdengar seperti batu-batu besar digulingkan, seperti sesuatu yang terus mendekat, lalu terhenti, lalu bergerak lagi.
Tangannya menyentuh gagang pintu, tapi tidak mendorongnya.
‘Kalau aku keluar… apakah aku bisa kembali masuk?’
Pertanyaan itu tidak pernah dinyatakan, tapi tertinggal di udara seperti bau hangus yang tak terlihat.
Di sisinya, Lyra menggenggam pergelangan tangannya sendiri. Ujung jarinya gemetar sedikit, tapi ia tidak bergerak mundur. Ia hanya berdiri, seperti menunggu sesuatu—atau mungkin berharap Rinari akan kembali dalam sekejap dan mengatakan semuanya baik-baik saja.
Namun pintu itu tetap terbuka.
Dan di luar, dunia tidak lagi terasa diam.