Rasa di Dunia yang Terlupakan

Darian Reve
Chapter #20

Rasa Dari Labirin yang Telah Sunyi

Aku duduk di tempat yang tidak memanggilku.

Bangkunya halus, tak kasar seperti batu penjuru di arena tempatku berdiri berabad-abad. Meja kayunya memantulkan sedikit cahaya pagi, dan aroma yang samar mengisi udara.

Aroma yang hangat—bukan dari darah atau besi, tapi dari sesuatu yang pernah kulupakan… sesuatu yang dulu hanya terasa saat semua masih hidup.

Tempat ini aneh.

Tak ada sorak, tak ada derap kaki yang menantang maut. Hanya suara bara yang sesekali berderak dari dapur terbuka, dan lantunan lembut dari luar yang entah sejak kapan menjadi latar dari diamku.

Aku pernah dijaga oleh ribuan mata.

Mereka datang satu per satu, membawa pedang, keberanian, dan ambisi. Mereka menyebutku penjaga. Penantang terakhir. Tujuan dari nyali mereka.

Tapi waktu… adalah musuh yang tak bisa kutundukkan. Dan satu per satu, mereka berhenti datang. Pasar di luar labirin membisu. Jalanan ditinggal. Aku bertahan… bukan karena harus, tapi karena tak tahu ke mana lagi aku akan pergi.

‘Suara langkah terakhir yang kudengar… sudah lebih dari seratus musim lalu.’

Aku menunggu.

Aku menyapu lorong demi lorong dengan tatapan kosong. Aku mengaum tanpa balasan. Bahkan gema pun berhenti menjawabku.

Lalu aku pergi.

Aku berjalan tanpa tujuan, menembus kabut dan reruntuhan. Bertemu makhluk-makhluk yang hanya menyisakan keraguan dan kehampaan di mata mereka. Tak ada lagi arena. Tak ada lagi semangat.

Dan pada akhirnya, aku tiba di sini.

Aroma itu datang pelan, seolah takut mengusik luka yang belum mengering.

Tak menusuk seperti besi panas yang dulu kukenal, tapi menelusup diam-diam, seperti suara yang pernah memanggilku pulang—namun kini samar, nyaris tak terdengar.

Aku menunduk sedikit, sekadar melihat meja.

Tak ada apapun di sana. Tapi udara di sekeliling mulai berubah. Hangat, padat, dan penuh… harap.

Entah sejak kapan aku bisa mengenali harap dalam bau makanan.

‘Ini bukan aroma perang.’

‘Bukan juga jamuan kemenangan.’

‘Tapi seperti… sesuatu yang dimasak untuk mereka yang pulang dengan kelelahan di mata.’

Kursi ini tidak kasar.

Lantainya tidak licin oleh darah atau keringat. Dan suara-suara dari dalam dapur tak menggema seperti palu tempur—melainkan seperti denting kecil harapan yang dipalu ulang, perlahan, dengan tangan yang ingin menghidupkan kembali sesuatu yang telah lama mati.

Aku tidak tahu siapa yang memasak.

Tapi setiap langkah kecil di balik meja itu terdengar seperti seseorang yang pernah kehilangan, dan sedang mencoba menyusun ulang makna dari potongan-potongan rasa.

‘Apa yang bisa dihidangkan pada makhluk yang telah kehilangan dunia?’

‘Apa rasa yang tersisa… bagi penjaga yang tak dijaga lagi?’

Aku belum bergerak.

Masih duduk. Masih diam. Tapi ada sesuatu di dadaku—seperti goresan kecil yang mulai membuka.

Lihat selengkapnya