“Ka, itu apa? Takut!” Deyra bersembunyi di balik punggung Yesa yang sedang berusaha membuka payung.
“Mana?” Yesa mengikuti arah telunjuk adiknya yang masih berumur sepuluh tahun. Deyra menunjuk ke arah remaja yang tengah kehujanan, duduk di kursi taman rumah sakit.
“Itu gambar yang gerak-gerak itu.” Deyra kembali menujuk ke arah remaja itu, yang bahkan tidak bergerak sama sekali, kecuali bahunya.
“Gambar yang mana?” Yesa menyimpitkan matanya mencari gambar yang dimaksud. Mungkin reklame. Tapi tak ada gambar. Hanya ada tulisan, jangan injak rumput.
“Itu! Gambar-gambar bergerak, mobil sama truk tabrakan. Kakak itu berdarah, ayah dan ibunya kena pecahan kaca, darah banyak banget! Dey takut!” Walaupun tidak paham, Yesa tahu dia harus memutar balik tubuhnya dan memeluk adik perempuannya itu. menepuk-nepuk punggungnya agar lebih tenang.
“Ari, jangan hujan-hujanan!” Seorang suster memayungi remaja itu dan mengandengnya, melewati lorong ke arah Yesa. Ketika berpapasan, Yesa bisa melihat perban dan memar di wajah dan tubuh remaja itu. Jelas itu bukan luka tonjokan, kemungkinan besar luka kecelakaan.