Deyra meremas rok abu-abunya lebih kuat. Tapi tangannya terus gemetar. Dia tidak merasakan apa-apa. Bahkan tidak sadar, semua pandangan di ruang bimbingan konseling itu tertuju padanya. Otaknya seperti beku pada kejadian mengerikan beberapa menit lalu. Sampai-sampai telinganya hanya mampu mendengar rintihan. Pandangannya pun menetap pada air berwarna merah yang mengalir ke lubang pembuangan. Dan sosok yang terkapar lemas dengan darah keluar dari nadinya.
Lidah Deyra sampai mati rasa saat sekecup air masuk tenggorokannya. Entah siapa yang membantunya minum. Dia sandarkan kepalanya ke meja. Rasanya berat sekali. Tangisannya seketika pecah. Kalo saja aku peduli ketika melihat kenangannya. Pasti hal mengerikan ini tidak akan terjadi. Seharusnya aku peduli. Sesal Deyra. Sebuah tangan hangat menepuk-nepuk punggung Deyra.
***
Ide gila mengenai penguntit kenangan Kaca sedang dirancang Deyra. Lembar belakang bukunya kini berisi coretan, kerangka atau lebih tepatnya langkah-langkah untuk mendekati Kaca tanpa ketahuan Renre. Tetapi, kerangka itu buntu, Kaca bukan orang sembarangan yang bisa didekati dengan mudah. Bukan orang supel, sulit pasti diakrabi. Pendiam pula. Sedangkan Deyra lebih parah lagi. Introvert tingkat akut. Cuma punya satu temen, Renre.
Walaupun kemungkinan Deyra mampu mendekati Kaca, sekecil atom, tetap saja menguntit kenangan Kaca bukan hal mudah. Harus ada momen sewaktu Kaca menyentuh hujan dan mengingat kenangannya bersama Renre. Baru Deyra bisa mengumpulkan rahasia Kaca.
“Sudah sepuluh menit.” Deyra menatap jam dinding yang berada di bawah lambang pancasila. Renre belum juga balik dari toilet. “Apa antriannya lama? Hujan-hujan pasti banyak yang beser.”
Deyra mengigit bibirnya, khawatir. Akhirnya ia memutuskan untuk izin ke toilet. Ketika ia melewati koridor kelas dua belas. Ia bertemu Pak Rudi yang keluar dari kelas XII IPS 4. Deyra membungkukkan kepalanya memberi hormat. Pak Rudi tersenyum. Saat Deyra akan melanjutkan langkahnya. Pintu kelas itu terbuka. Memperlihatkan cowok yang membuatnya dongkol tadi pagi.
“Ikut Bapak ke kantor!” perintah Pak Rudi pada cowok itu. Lalu dia melangkah pergi.
Deyra dan cowok itu saling bertatapan. Mata Deyra tampak sekali penasaran tentang apa yang terjadi. Sedangkan mata cowok itu tampak tenang. Anak-anak kelas XII IIS 4 tampak gaduh dan berisik.
“Wah jadi Are yang hamilin Sasa!”
“Anjrit banget pacaran mereka!”
Are? Apa cowok di depannya ini yang diomongin itu. Deyra ingat kenangan cowok ini yang dilihatnya tadi pagi. Ya, ada Kak Sasa di dalamnya. Deyra mencari kebenaran di mata cowok itu. Entah kenapa, ia merasa penasaran. Sangat penasaran.
“Lo kayanya suka banget ngeliatin gue?” Cowok itu tersenyum miring. Lalu meringis karena luka lebam di ujung bibirnya terasa perih. “Gue pergi dulu. Semoga besok lo masih bisa ngeliatin gue lagi.”
Deyra mecerna ucapan itu sambil menatap punggung cowok itu. “Semoga besok lo masih bisa ngeliatin gue lagi?”
Apa cowok itu benar menghamili Kak Sasa? Atau cowok yang memeluk Kak Sasa? Baru kali ini Deyra penasaran dengan kelanjutan kenangan orang lain. Menyesali tidak melihat secara lengkap.
“Deyra! Ngapain kamu peduli sama kenangan orang lain! Itu bukan urusanmu!” Deyra mencoba menyadarkan diri.
Dia melanjutkan langkahnya ke toilet yang berada di sudut deretan kelas XII IPS. Toilet dekat kelas dua belas memang terkenal lebih bersih dibandingkan toilet-toilet yang ada di sekolah negeri ini—kecuali toilet guru tentunya bersih sekali. Tetapi bukan karena kebersihannya yang membuat Deyra menebak Renre memilih toilet itu. Namun karena lokasi toilet itu yang harus melewati kelas dua belas MIPA, membuat Renre bisa—setidaknya—melirik Kaca yang duduk dekat jendela.