Hal yang paling diharapkan saat bangun pagi adalah suasana yang nyaman dengan udara segar yang terhembus bersama aroma embun. Terlebih, jika cicit sayup-sayup sekumpulan kenari menjadi lagu pertama yang menyapa ruang dengar.
Ngomong-ngomong, semua itu hanyalah harapan karena kenyataannya ….
“Gi, bangun! Ayam tetangga udah bangun dari tadi, lho!”
Suara sumbang Ibu selalu menjadi lagu pertama kudengar setiap pagi. Kali ini, disertai sentakan selimut yang ditarik paksa dari tubuhku. Refleks membuatku membuka mata lantas menyipit kembali karena belum siap menerima silau matahari yang menerobos dari celah jendela. Aku mengucek mata sambil perlahan mengumpulkan nyawa yang masih belum genap.
Sungguh pagi yang jauh dari harapan.
“Berhentilah jadi anak pemalas!” Suara Ibu mulai naik beberapa oktaf.
“Ibu kenapa, sih? Pagi-pagi udah teriak?” Aku duduk dan menggaruk kulit kepala yang terasa gatal. Aku yakin rambutku semakin acak-acakan.
“Berapa kali Ibu mengingatkan kamu kalau anak perawan itu pamali bangun siang, Fugi!”
Fugi. Mungkin sebagian orang penasaran dengan arti namaku. Percayalah, nama itu tidak ada diskripsinya jika diketikkan pada sebuah mesin pencarian arti kata. Mesin akan mengarahkan pada kata ‘fungsi’ atau ‘fungi.’ Kata itu juga tidak tercatat dalam kitab maupun primbon mana pun.
Sembilan belas tahun yang lalu—saat aku dilahirkan—aku adalah seorang bayi menggemaskan dengan kedua pipi yang chubby. Kak Ghina—kakak perempuanku—yang saat itu masih berusia tiga tahun, mengatakan bahwa pipiku menggelembung seperti ikan fugu alias ikan buntal.
“Fugi! Fugi!” sapa Kak Ghina padaku kala itu.
Alih-alih ‘adek bayi,’’adik kecil,’ atau mungkin ‘bintang kecil di langit yang biru,’ Kak Ghina memanggilku ‘Fugi.’ Fugunya Ghina. Baik, belum berhenti di sini.
Bang Farhan, kakak tertuaku yang kala itu berusia enam tahun dan sedang gemar membaca tulisan apa pun, membaca berulang-ulang selembar kertas dari rumah sakit bersalin yang bertuliskan nama ayah dan ibuku. Fuad-Giarsih. Posisi Kak Farhan saat itu tepat di sebelah Kak Ghina yang sedang mencolek-colek pipi gembulku.
“Fugiiiiiii,” sapa Kak Ghina dengan intonasi gemas, kala itu.