“Lo bolos lagi, Gi?” Sania mendekatkan wajahnya padaku yang sedang fokus menatap layar laptop dan buku catatan, bergantian.
“Ssssttt! Kalau nggak mau petugas perpustakaan melempar buku ke ubun-ubun lo, lebih baik jangan berisik,” kataku tanpa mengalihkan pandangan.
Aku memang sengaja membolos kelas Manajemen Resiko karena cara mengajar Pak Anwar sangat membosankan. Setidaknya aku paham jika risk berbanding lurus dengan return. High risk, high return! Toh, mengikuti kelasnya pun belum tentu membuatku betul-betul paham segala macam teori dan contoh kasus yang diajarkan dalam mata kuliah ini.
“Emangnya lo nggak takut nilai lo jelek gara-gara keseringan bolos?”
Aku hanya mengangkat bahu. Sebagus apa pun nilai ujian yang kudapatkan, tidak menjamin nilai bagus pula di lembaran transkrip yang dibagikan saat yudisium, jika presensiku buruk. Tapi, biarlah yang penting IPK—Indeks Prestasi Kumulatif—masih tiga koma.
“Buat gue, bisa ngerjain soal ujian aja udah cukup. Masa bodoh kalau nilai gue nggak sempurna gara-gara presensi gue yang buruk.”
Tanpa menghadiri kuliah tatap muka, aku sudah banyak belajar semua mata kuliah yang harus kukuasai. Bahkan, beberapa mata kuliah untuk tingkatan di atasku pun ada yang sudah kumengerti. Bukan karena aku anak yang cerdas. Hohoho. Semua ini karena aku menjadi joki untuk mengerjakan makalah dan tugas kuliah mahasiswa yang lain. Seperti yang kulakukan saat ini. Bolos kelas, tetapi mengerjakan tugas orang lain.
Sloganku adalah mengatasi makalah tanpa masalah. Para mahasiswa pemalas selalu puas dengan hasil yang kukerjakan. Meskipun kecerdasanku terbatas, tetapi aku selalu berusaha mengerjakan tugas yang mereka berikan dengan maksimal sehingga hasilnya sempurna. Namun, tidak untuk tugasku sendiri. Aku mengerjakannya seadanya.
Di mata ibuku, aku tidak lebih cerdas dari Kak Ghina. Jika sekali tempo aku mendapatkan nilai yang bagus, ibu akan mencurigai bahwa aku telah berbuat curang. Jadi, daripada makan hati, lebih baik aku tidak pernah berjuang untuk mendapatkan nilai maksimal.
Aku akan tetap mengerjakan soal ujian sesuai kemampuanku, toh nilainya akan menurun jika dikomulatifkan dengan nilai presensiku. Aku tidak menentang sistem penilaian yang melibatkan presensi, justru ini cara yang cukup adil. Mungkin ada mahasiswa yang kurang mengusai suatu mata kuliah sehingga soal ujian tidak bisa dikerjakan dengan baik, tetapi setidaknya dia sudah berusaha keras dengan selalu hadir pada setiap pertemuan tatap muka dengan dosen.
Kesimpulannya, aku hanya butuh nilai yang ‘tidak buruk’ untuk formalitas mencari pekerjaan di masa depan. Di samping selembar ijazah, tentu saja.
“Menurut lo, tujuan kita kuliah itu apa, sih?” tanyaku pada Sania sambil mengalihkan pandang dari layar laptop padanya. “Ilmu, nilai atau ijazah?”
Sania menengadahkan kepalanya ke atas, mengerang sebentar. Mungkin sedang menimbang jawaban. Jemarinya pun berkali-kali mengetuk meja kayu berlapis kaca di hadapannya. “Ketiganya!” jawabnya mantap dan penuh semangat.
Aku mengangguk-angguk. Setuju. “Munafik kalau kita bilang tujuan kuliah untuk mengasah otak agar lebih intelektual. Ijazah tentu saja merupakan sertifikat resmi atas ‘pengakuan’ intelektualitas yang digadang-gadang itu. Dan, ya … akan lebih membanggakan jika nilai yang menyertainya sempurna, bukan?” Aku kembali menekuri catatan. “Semua itu demi satu tujuan, agar terlihat.” Aku membuat tanda kutip imajinasi dengan kedua tanganku saat mengucapkan kata ‘terlihat.’
“Well, lo nggak pengen terlihat?” Sania mempraktikkan gestur yang sama seperti yang kulakukan.
“Enggak. Buat apa? Keluarga gue aja nggak bisa ngelihat potensi gue. Ups, lupa! Gue kan nggak punya potensi.” Aku mengangkat bahu.