“Aku punya alasan,” kata Putu singkat.
Refleks, aku tersenyum kecut menanggapi kalimat yang diucapkannya. Pandanganku masih terpaku pada layamg-layang yang menghiasi langit sore dari penjuru timur. “Awalnya aku memang penasaran siapa joki yang merebut klienku. Jujur, aku juga sedikit nggak terima karena jobku disabotase. Sekarang aku sudah tahu siapa orang itu dan … sekarang yang tertinggal cuma rasa nggak percaya aja kalau ternyata kamu juga nyambi jadi joki.”
Putu menatapku dengan pandangan yang terkulai lesu. Mungkin kata ‘mati aku’ berkali-kali terrapal dari batinnya.
“Gaji kamu kurang?” tanyaku dengan bibir yang tersenyum miring.
“Bukan begitu,” jawab Putu. “Aku hanya nyari tambahan uang buat tabungan masa depan.”
Aku tergelak mendengar jawabannya. Bahkan, air mata tak terasa mengalir di sudut mataku. Aku mengibas-ngibaskan tanganku ke arah muka sembari berusaha mengulum tawaku. “Buat apa, Putu?”
Meskipun aku tidak tahu betul berapa jumlah gaji yang diterimanya setiap bulan, tapi aku yakin jumlah itu sangat cukup untuknya. Putu tidak memiliki tanggungan apapun selain dirinya sendiri. Aku sangat mengenalnya karena dia adalah tetanggaku. Papa dan mamanya bercerai sejak dia duduk di bangku SMP.
Sejak saat itu dia tinggal dengan papanya. Konon, mamanya sudah menikah lagi saat itu. Hingga akhirnya, saat Putu duduk di bangku tingkat akhir SMA, papanya pun menikah lagi. Tak ingin tinggal dengan ibu tiri yang memiliki anak laki-laki seusianya, Putu memutuskan untuk pisah tinggal dari papanya. Sejak saat itu Putu seperti hidup sebatang kara.
Kasih sayang papa dan mamanya hanya sebatas uang bulanan yang masuk ke rekeningnya. Semuanya telah disibukkan dengan keluarga baru mereka. Lubang kesepian tentu saja menganga di lubuk hatinya. Sehingga, meskipun berusia lima tahun lebih tua dari Bang Farhan, Putu sering bermain dengan Bang Farhan di rumah kami.
Oh, iya! Putu berusia sepuluh tahun lebih tua dariku. Namun, aku tidak pernah memanggilnya ‘Bang,’ ‘Kakak,’’Mas,’’Akang,’ atau panggilan kehormatan pada orang yang lebih tua lainnya kepada Putra. Alasannya, karena aku ikut-ikutan cara Ibu memanggilnya. Saat itu aku masih sangat polos. Namun, saat aku beranjak besar, Ibu selalu menyuruhku memanggilnya ‘Mas Putu,’ tapi semakin disuruh, semakin aku tidak menjalankannya. Alhasil, hingga saat ini aku memanggilnya tanpa embel-embel apapun jika menyangkut urusan pribadi.
“Kamu lagi kejar setoran buat nikah?” tanyaku mencibir.
“Nikah?” Kali ini dia yang tersenyum kecut, kemudian tangannya dikibas-kibaskan ke udara. “Buat tabungan masa tua. Biar aku nggak terlantar.”
“Ya ampun, Putu! Kamu meragukan anak-cucumu di masa depan? Kamu terlalu meng-underestimate mereka tahu nggak, sih? Dan lucunya, mereka itu belum ada.” Tawa kembali pecah di ujung kalimatku.
“Aku seperti ini karena mereka memang nggak ada.” Ada getar dalam suara Putu.
“Belum ada.” Aku meralat.
Putu menggeleng. “Aku trauma dan benci dengan pernikahan.”
Aku mengangguk-angguk. Pilihan hidupnya sama sekali bukan urusanku. Tak heran jika dia bersikap seperti itu. Papa dan mamanya meninggalkannya saat dia sedang dalam masa pencarian jati diri.