Langit mulai menebarkan semburat kuning nan hangat, pertanda pagi mulai menyapa. Kicau burung bersahut-sahutan seolah menjadi komposisi musik relaksasi bagi Ayah. Terdengar riang, Ayah bersiul sambil menjentikkan jemarinya berkali-kali ke arah beberapa sangkar burung secara bergantian. Sejenak kemudian, Ayah menyapukan sebuah alat pel yang sedari tadi melekat di tangan kirinya dengan masih bersiul.
Ayahku adalah pecinta burung amatiran. Kebiasaan ayah di pagi dan sore hari adalah menyapu dan mengepel lantai. Pekerjaan ayahku dalam hal bersih-bersih sangat menakjubkan dibandingkan bersih-bersih ala ayah orang lain. Saat sedang menyapu, Ayah memastikan semua debu yang menempel di lantai sudah ditepis jauh-jauh. Bahkan, Ayah juga memastikan bayangannya terpantul sempurna pada lantai yang tengah digosok dengan alat pel hingga kinclong.
Terkadang aku merasa iri pada burung dan lantai karena Ayah lebih perhatian pada mereka dibanding diriku.
“Berangkat dulu, Yah!”
Aku, anak kurang ajar ini, berlari menembus petak demi petak lantai yang sedang dikerjakannya. Kuraih tangan Ayah. Salim dan mencium tangan orang tua adalah kebiasan yang harus dilakukan sebelum pergi ke luar rumah. Meski setengah hati, aku menuruti aturan ini. Tangan Ayah masih menyisakan aroma apel dari cairan pembersih lantai, mungkin akibat dari memeras kain pel yang basah.
“Nanti kalau pulang Ayah nitip pakan burung ya, Gi!” kata Ayah sambil membersihkan ulang lantai yang kuberi tanda dengan jejak- jejak kaki.
Aku memutar mata jengah. Harusnya Ayah menanyakan apakah aku sudah sarapan atau belum, tetapi ini malah … ah! Yasudahlah!
“Ya,” jawabku singkat.
Kuayunkan langkahku dengan ribuan rasa dongkol dan secepat mungkin menapakkan kaki di trotoar tepi jalan beraspal. Tak ada pagi romantis antara anak dan orang tuanya yang tercermin pada keluargaku.
Kuhentikan langkah saat sampai di halte, menunggu bus tujuan seperti yang dilakukan orang lain di sini. Tak perlu menunggu lama, busku mulai terlihat merayap malas mendekat ke arahku. Aku berdiri mempersiapkan diri agar tidak tertinggal.
Bus yang kutumpangi mulai merayap kembali di jalanan. Aku berada di antara himpitan bayak orang dengan berbagai macam aroma. Jika masih pagi seperti ini, aroma- aroma itu masih terasa tidak mengganggu, berbanding terbalik dengan sore hari nanti. Aku sudah terbiasa.
Aku memang belum memiliki uang untuk membeli mobil sendiri seperti Kak Ghina. Pekerjaan sambilanku sebagai joki tugas masih remahan dan belum cukup menghasilkan. Katana milik Ayah yang sering sekali mogok pun bukan alternatif yang baik untukku. Aku belum siap dirundung oleh kawan-kawanku di kampus jika aku nekat membawanya. Setap hari pergi ke kampus naik taxi pun akan membuat kantong tipisku menjadi kering kerontang bagaikan ladang di musim panceklik.
Sepeda motor? Tentu saja aku punya dan bisa mengendarainya, tetapi Ibu pasti akan melarangku. Bukan tanpa alasan, setiap kali aku mengendarai kuda besi jiwa pembalapku meronta- ronta ingin dikeluarkan hingga akhirnya aku selalu ugal-ugalan di jalanan. Berulang kali kecelakaan, membuat ibuku uring-uringan karena harus kerepotan membawaku ke rumah sakit.
Aku hanya diperbolehkan memakai sepeda motor saat ke minimarket dekat rumah. Itupun harus di awali dengan ceramah panjang dari Ayah yang memakan waktu lebih lama dari pada berjalan kaki ke minimarket pulang-pergi. Jadi, kalau hitung-hitungan manajemen waktu, aku lebih memilih ke minimarket dengan berjalan kaki.