“Kalau Ghina Maharani punya adik cewek, lo mau nikah sama adiknya nggak?” tanyaku tanpa malu-malu.
Alamak! Sudah macam jalangkung saja Si Alva. Saat aku menoleh ke arahnya, laki-laki itu telah menghilang entah ke mana. Dia datang begitu saja, perginya pun tak bilang-bilang. Aku menghembuskan napas panjang sembari menatap beberapa pasang mata yang seolah menatap iba kepadaku.
Aku membimbing kembali langkah kakiku untuk melanjutkan perjalanan menuju ruang D.64. Jam tangan analog yang melingkar di lenganku menginformasikan bahwa jika Pak Ali tidak terlambat masuk kelas, maka lima menit lagi kuliah jam pertamaku hari ini akan dimulai.
Setengah berlari, aku segera menuju gedung D. Namun, sepertinya hidupku memang selalu dirundung ketidakberuntungan. Bagaimana tidak, salah satu elevator di gedung D sedang dalam perbaikan. Alhasil, terciptalah jubalan mahasiswa yang sedang mengantri di depan pintu satu-satunya elevator yang dapat digunakan saat ini.
Dasar pemalas, harusnya mereka berinisiatif menggunakan tangga manual. Namun, ya beginilah mental generasi milenial yang terlanjur terbuai oleh segala macam kemudahan.
“Gi, lo kuliah kelasnya Pak Ali?” tanya Sania yang rupanya sedang terjebak dalam jubalan manusia.
“Iya,” jawabku singkat.
“Kalau lo nggak mau disuruh menutup pintu dari luar sama Pak Ali karena terlambat, mendingan lo pakai tangga manual aja. Antriannya masih panjang.” Sania memberikan saran.
‘Silakan tutup pintu dari luar’ merupakan kalimat pengusiran secara halus. Kalimat khas yang diucapkan oleh Pak Ali yang sama sekali tidak memberikan toleransi atas keterlambatan dengan alasan apapun.
“Tadi gue sempat mikir gitu, San. Tapi, ke lantai enam dengan tanga manual butuh perjuangan,” kataku malas.
“Lo nggak berencana buat bolos, kan? Ingat lo udah bolos tiga kali pertemuan untuk kelasnya Pak Ali. Kalau nggak mau ketemu beliau di semester pendek, mending lo bersakit-sakit dahulu, deh!”
Ucapan Sania ada benarnya juga. Entah dapat dikategorikan dalam himpunan dosen killer atau bukan, yang jelas Pak Ali adalah dosen paling intoleran untuk segala macam pelanggaran. Penyampaiannya tidak secara kasar, tetapi dengan bahasa yang halus dan santun. Suara dan nada bicaranya pun lembut. Selain itu, Pak Ali adalah dosen terpelit untuk urusan nilai. Jika aku bertemu dengannya di semester pendek dan tidak mendapat nilai yang lebih baik, itu artinya … wassalam.
“Kalau gitu gue duluan ya, San!” seruku setengah berlari menuju tangga manual.
***