Kelas Pendidikan Kewarganegaraan telah usai. Setelah Pak Ali keluar ruangan, beberapa mahasiswa berebut keluar ruangan juga.
“Tak selalu ... wooooo .. yang berkilau itu indah ... woooo .. telah terbukti di dirimu ... woooo ... ” Are bersenandung sambil mengangguk-angguk dan menggerak-gerakkan tangannya absurd, sepasang earphone tersumpal di dua lubang telinganya. Berjalan pelan menuju pintu keluar setelah sebelumnya mengangkat tangannya, tanda pamit padaku. Kulihat Are—beserta rambut gimbalnya—hilang di antara kerumunan mahasiswa yang lain.
Seperti yang lain, aku pun berjalan meninggalkan kelas. Kali ini antrean lift tidak separah tadi pagi, dan kalaupun antreannya panjang, aku sudah berjanji untuk tetap dalam antrean. Biarpun turun tangga jauh lebih ringgan dari naik tangga, aku tetap memilih mengantri lift. Hidup generasi pemalas!
Ting!
Lift membawaku ke lantai satu. Seperti biasa sambil menunggu mata kuliah selanjutnya, aku menghabiskan waktu dengan duduk santai di selasar utama gedung Fakultas Ekonomi sambil mengerjakan tugas dari klien. Tak salah jika tempat ini adalah favorit mahasiswa karena angin sepoi- sepoi selalu menemani apapun aktivitas yang kami lakukan di sini.
Saat bosan melanda, kusapukan pandanganku pada beberapa orang, kuamati setiap gerik yang mereka lakukan. Ada yang bercengkrama santai sambil sesekali terbahak, otak jahatku mengatakan mereka mungkin mereka sedang bergibah. Ada juga yang sedang berbagi file film terbaru. Ada juga yang sedang bermesra-mesraan tanpa tahu malu, membuatku jiwa jombloku menjadi sangat iri.
Jika kuliah sudah normal kembali, akan mulai muncul himpunan mahasiswa yang sedang beramai- ramai mengerubungi selembar kertas sambil menulis. Tradisi menyontek berjamaah akan selalu ada di setiap generasi.
“Hai, Gi!” Sania menghempaskan tubuhnya ke kursi di selehaku. “Gimana kelasnya Pak Ali? Telat?”
“Enggak, tapi gue di dalam kelas hampir kayak ikan terkapar, dong! Akhirnya, gue izin ke toilet dan minum air kran.”
“Serius, lo?” Sania membulatkan matanya tak percaya.
Aku mengangkat bahuku. “Tahu bakal olah raga pagi-pagi, gue pasti beli minuman dulu, San.”
Senyap beberapa saat. Hanya suara lembut angin yang berdesir di sekitar kami.
"Kenapa ya sekarang itu menjamur banget geng atau squad mahasiswa? Sok-sok-an sosialita. Kenapa mereka milih pergaulan yang terkotak-kotak kayak gitu, sih? Bukankah pergaulan yang membaur itu jauh lebih indah?" tanyaku lebih ke pernyataan sok diplomatis.
"Lo gak lagi ngiri karena gak punya geng, kan?" Sania mencibir.
"Nope!"
Nama-nama geng di kampus yang kutahu pun sangat banyak, mulai dari yang pasaran seperti ‘Kepompong,’ ‘Barbie Dolls,’ sampai dengan nama yang nyentrik seperti ‘The Magic Armpit Hair.’