“Dulu kamu suka ngarang-ngarang cerita tentang Peri Tomat dan Penyihir Lengkuas, kan?” tanya Putu sambil memiringkan kepalanya.
Seketika aku melongo tidak percaya Putu mengingat cerita tentang Rimba Dapur yang kukarang semau perutku, sekaligus merutuki ke-absurd-an perilakuku sewaktu kecil. Dulu, setiap bertemu dengan orang aku pasti akan selalu menceritakan bagaimana perang antara Peri Tomat dan Penyihir Lengkuas yang sedang menyandra Putri Seledri.
Mungkin jika kata ‘hoax’ sudah happening saat itu, orang-orang akan memberiku julukan ‘Penyebar Hoax.’ Sebenarnya sejak kecil aku memang banyak julukan dan semuanya berkonotasi negatif. Sangking berkesannya untukku, aku pernah mencatat julukan baru yang dicetuskan pada halaman belakang salah satu buku tulisku.
Ctik!
Putu menjentikkan jari tepat di depan batang hidungku. “Masih suka?” tanya Putu sambil memiringkan kepalanya.
“Suka? Sama siapa?” Aku mencoba mengingat-ingat hal memalukan apa lagi yang kuceritakan pada Putu di masa kecilku yang dirundung kepiluan itu.
“Kok siapa, sih? Emang kamu pernah suka sama orang?” Suara Putu masih datar. Species jenis apa, sih, dosen konyol ini?
Baiklah, kuakui bahwa memang benar otakku sedikit bebal, tetapi tidak terlalu parah. Aku berani bersumpah. Sehingga aku belum bisa masuk kategori ‘cewek tulalit,’ tetapi aku belum mengerti arah pertanyaan Putu.
“Maksudnya gimana, sih? Jangan melemparkan pertanyaan yang berpotensi dijawab dengan pertanyaan balik, please!”
Putu mencibir. “Secara kontekstual, pertanyaanku relevan dengan pertanyaan pertamaku yang memang belum kamu jawab. Pertanyaan kedua adalah penguat pertanyaan pertama.”
Ucapan Putu semakin terdengar riuh di telingaku dan terasa kusut saat ditangkap oleh radar otakku. Jujur, aku tidak paham.
“Pak, tolong kalau memberikan penjelasan itu yang jelas dan dapat diterima oleh mahasiwa berotak bebal seperti saya ini,” ucapku sambil memelas berlebihan.
Putu mendesah panjang. “Aku kan tanya, lebih tepatnya memastikan, kalau dulu memang kamu suka mengarang cerita tentang Peri Tomat dan Penyihir Lengkuas, kan?” Putu memberikan jeda. Aku masih menyimak dengan mata membulat dan sesekali mengangguk-angguk. “Nah, karena kamu nggak kunjung menjawab, aku tanya lagi. Kamu masih suka?” Putu berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya. “Maksudnya, kamu masih suka mengarang? Gitu. Sampai di sini, paham?”
Aku membulatkan bibir. Baru betul-betul menyadari jika otakku memang sedikit bebal.