“Coba kamu hilangkan kebiasan keluyuran setelah kuliah, Gi!” kata Ibu dengan nada tidak suka sembari mengaduk nasi yang masih mengepul dari dalam magicom.
“Aku belajar, Bu,” jawabku dengan nada datar sambil membolak-balik tempe yang sudah tersaji di atas piring.
Ibu mengacungkan sendok nasi ke arahku. “Belajar kok berdesak-desakan nonton konser!”
Saat menonton konser Sheila on 7, aku memang sempat bertemu dengan Tania dan Talita, Si Kembar anak Bu Marry, tetanggaku. Aku yakin mereka menyeritakan pertemuan kami kepada mamanya. Saat Bu Marry bertemu Ibu di lapak tukang sayur, ceritaku yang sedang berjingkrak-jingkrak kegirangan bersama kedua anaknya pun meluncur mulus.
Aku menggigit ujung tempe kemudian mengunyahnya dengan rasa jengkel. “Itu kan udah kejadian lama, Bu.” Aku mulai menggigit tempe goreng. “Hari ini enggak ke konser, Bu. Nggak percaya amat, sih!” ucapku di sela-sela kunyahan.
“Berarti kamu nonton di bioskop.” Kali ini Ibu mengacungiku dengan sendok sayur.
Ya, memang. Saat sedang mengantri untuk membeli tiket film, aku pun bertemu dengan Rania. Anak Pak Andi, ketua RT di lingkungan kami. Ibu mendengarnya sendiri dari Rania saat sedang meminta surat keterangan RT—pelengkap berkas kepindahan Kak Ghina di lingkungan baru.
“Nonton bioskopnya juga udah beberapa bulan yang lalu kali, Bu. Hari ini itu aku ke café buat bikin tugas.” Aku masih membela diri.
“Nggak ada saksi yang ngelihat kamu belajar di café, Fugi. Café kok buat belajar. Pasti kamu nongkrong, kan, di sana?” Ibu masih mencurigaiku.
“Terserah Ibu, deh. Toh, sekeras apapun aku berusaha menjelaskan, Ibu juga nggak bakal percaya, kan? Karena aku bukan Kak Ghina.”
Meskipun intensitas keberadaanku lebih banyak di café untuk mengerjakan tugas kuliah, nyatanya tak ada tetangga atau siapa pun orang yang dikenal ibu melihatku di sana sedang bercumbu mesra dengan buku dan laptop. Jadi, aku tidak memiliki saksi yang mendukung alibiku.
Berbeda denganku, Kak Ghina yang pulang lewat tengah malam selepas acara perayaan atas keberhasilan karena acara yang dipandunya mencapai rating tinggi, sama sekali tidak membuat Ibu komplain.
“Ghina terpaksa pulang larut karena memang bagian dari pekerjaannya.”
Hallo! Ini pesta perayaan lho, bukan siaran langsung berita tengah malam. Saat itu aku pernah menyanggah, tetapi tetap saja aku kalah.
Saat Bang Farhan keasyikan mabar—main bareng—dengan teman-temannya dan berujung pulang larut malam, pun tidak memanen omelan dari Ibu.
“Farhan itu kan laki-laki, tidak masalah karena bisa menjaga diri. Toh, dia cuma mabar, nggak judi, main perempuan atau mabuk-mabukan. Jadi nggak masalah.”
Huh! Apakah ini yang disebut rasa adil dalam meperlakukan anak? Kalau aku sih, no.
“Lho! Mau ke mana, Gi?” tanya Ibu saat aku beranjak dari meja makan.