Bagi sebagian orang, hari Sabtu dan Minggu mungkin merupakan dua hari kebebasan atas segala rutinitas yang sarat kepenatan. Namun, semua itu hanyalah kehaluan bagiku. Weekend adalah siksaan untukku karena aku harus membantu ibuku untuk ikut bekerja di rumah makan sup iga yang dikelolanya.
Hukum perilakuku adalah jika aku disuruh untuk melakukan sesuatu, maka aku harus melanggarnya. Namun, tidak untuk aktivitas membosankan ini. Tentu saja bukan karena aku sedang berusaha berbakti pada ibuku. Lebih tepatnya, aku melakukannya atas dasar kepamrihan. Akan kupertegas bahwa setiap kali manusia melakukan suatu hal, pastilah disertai rasa pamrih walaupun hanya secuil dan nyaris tak kasat mata.
Begitu pula denganku. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku ‘ikut bekerja’ di rumah makan itu, tentu saja aku mendapatkan upah. Ya, mari kita simpulkan bersama. Alasanku bersedia membantu ibuku adalah upah.
Meskipun aku merasa tersiksa dengan kelelahan, setidaknya kepedihanku itu terbayar oleh upah. Bahkan, aku menggunakan aktivitas menyebalkan ini sebagai senjata untuk membungkam Kak Ghina jika aku merasa terpojok.
Hanya aku anak yang tersisa di keluarga ini. Maksudku, satu-satunya anak yang masih tinggal di rumah orang tuaku. Kak Farhan sudah menikah dan tinggal di rumahnya sendiri bersama istri dan anaknya. Mbak Ratna dan gadis berusia delapan bulan, Lily. Sementara Kak Ghina, semenjak bekerja di salah satu televisi swasta lebih memilih tinggal di apartemen karena jarak rumah dengan tempatnya bekerja cukup jauh. Terlebih, jam kerja Kak Ghina juga tidak dapat diprediksikan.
“Gi, antar mangkuk ini ke meja tujuh belas!” Suara Ibu mulai menggema di daun telingaku.
“Aku kan baru jaga drawer, Bu,” kilahku.
“Belum ada yang transaksi lagi, kan? Anterin saja dulu mangkuknya, Fugi! Semua orang pada sibuk, nih!”
Benar saja, semua karyawan ibuku sedang sibuk membawa baki ke meja para pengunjung dengan langkah yang dipercepat. Setiap akhir pekan, rumah makan kami memang selalu ramai. Itulah alasan mengapa Ibu merekrutku sebagai karyawan tambahan.
Dengan malas aku meninggalkan meja kasir dan segera menghampiri Ibu untuk mengambil mangkuk yang disebutnya tadi. Enam mangkuk sup iga yang harus kuantar, tentu saja beban yang tidak ringan untuk tanganku.
“Meja tujuh belas semua ini, Bu?” tanyaku. “Tanpa nasi?”
“Iya nomor tujuh belas semua. Nasinya sudah diantar, makanya jangan sampai mereka nunggu kelamaan. Buruan sana diantar! Nanti ke sini lagi ya, Gi! Mereka juga pesan lauk-pauk.” Ibu menunjuk tiga piring yang masing-masing berisi perkedel, kerupuk udang bercampur emping dan tempe goreng.
“Kalau nggak ada yang transaksi,” ucapku segera meninggalkan Ibu dan bergegas menuju meja bernomor tujuh belas.
“Permisi, sup iga enam mangkuk,” ucapku sambil menurunkan satu per satu mangkuk dari baki ke atas meja. “Lauknya menyusul, mohon ditunggu sebentar!” Segera aku bertolak dari meja.
Belum tiga langkah aku berjalan dari meja tujuh belas, pengunjung dari meja nomor enam belas berseru. “Mbak, sambal dan kecapnya habis!”