“Fugi! Bangun! Woi! Udah mau magrib.” Kak Ghina menarik paksa tanganku sehingga posisiku menjadi duduk dengan mata yang belum siap terbuka.
Mak Lampir satu ini memang memiliki kelakuan yang tidak bisa ditolerir oleh akal sehat. Aku heran, bagaimana bisa wanita jahat ini mendapatkan sanjungan dari banyak pihak. Sebagai bentuk rasa keberatanku, aku melemparkan tatapan sinis ke arahnya, setelah berhasil membuka mata sepenuhnya.
“Wah! Kayaknya apa yang dibilang orang itu ada benarnya. Tidur menjelang magrib itu nggak baik. Bisa didatangi hantu kolor hijau, kalau enggak ya kayak kamu gini. Kesambet.”
Aku menatapnya semakin tajam dengan menyipitkan mata.
“Benar-benar!” Kak Ghina mendekatiku, memegang kepala dan dahiku sambil berkata lirih, “Eta saha?”
Segera aku menepis tangan Kak Ghina dari dahiku. Namun, kejengkelan justru menjadi-jadi dalam diriku karena gelak tawa yang pecah dari bibirnya yang merah karena gincu.
“Kakak itu hantunya. Besok minta Ayah buat nganterin lo ke ustadzah, deh! Lo harus dirukiyah!” ucapku dengan nada ketus.
“Gi, kurangi kebiasaan malas-malasan lo, deh. Mendingan lo bantu-bantuin Ibu. Hari ini Ibu, kan, lagi ngerjain pesanan. Kamu malah malas-malasan kayak gini.”
Aku mengacak-acak rambut hitam kemerahanku. Bukan karena cat rambut, tetapi memang warna asli rambutku seperti ini. Beruntung aku memiliki kulit dengan warna langsat, jadi penampilanku tidak terlalu nampak dekil.
Dulu waktu masih kecil, aku sering mengejar dan berebut layang- layang putus dengan beberapa anak laki-laki. Kadang aku menang, kadang aku kalah. Karena sering bermain di bawah terik matahari, warna kulitku menjadi semakin pekat dan rambutku semakin berawarna coklat kusam, nampak tidak sehat.
Beruntung saat SMA aku mengenal berbagai macam lulur dari Kak Ghina. Tak jarang saat Kak Ghina sedang luluran, aku ikut nimbrung menggosok kulit hingga menciptakan banyak daki dari lulur yang bercampur dengan kotoran dan kulit matiku. Sesekali kami bergurau tentang hal- hal receh dan remeh. Aku pun lebih peduli untuk merawat tubuh dan rambutku, sehingga penampilanku saat ini cukup layak untuk disebut: waita, walaupun Kak Ghina masih lebih cantik dariku.
Hanya saja, tinggi badanku kini stagnan di angka 160 cm. Berbagai macam susu kalsium yang menjanjikan tumbuh ke atas dan pil penambah tinggi badan sudah kucoba. Namun, hasilnya nihil.
“Gi, lo masih di sana?” tanya Kak Ghina sambil melambaikan tangannya di depanku.
“Kak, apa salahnya, sih, gue istirahat? Ini hari Sabtu. Weekend. Gue juga manusia, butuh istirahat. Lagi pula gue udah seharian bantuin Ibu lho, ya,” aku mengangkat dagu dan melebarkan mata ke arahnya.
“Tapi, istirahat lo kebablasan, Fugi. Masak, mau petang gini lo belum bangun? Belum mandi pula.” Kak Ghina berkacak pinggang.
Aku memutar bola mata. Sepertinya bakat mengomel Ibu menurun padanya. Namun, mengapa harus aku yang selalu menjadi obyek?
“Kakak itu bawel banget, sih!” Aku mulai protes. “Lagian ngapain, sih, lo balik rumah?”
“Ya, gue pulang. Masak pulang ke rumah sendiri nggak boleh, Gi?”