Rasio

Agustina Puji Ayuni
Chapter #12

Penumpang Tidak Tahu Diri

Aku tidak peduli jika langit beringsut gelap. Beberapa kali suara Ibu simpang siur di telingaku. Mengomelku yang tak kunjung keluar kamar. Ibu mengira aku masih terlelap di atas tempat tidurku. Mungkin di mata Ibu, Kak Ghina sudah membangunkanku, tetapi aku saja yang bebal karena tak kunjung bangun.

Dengan segenap hati yang dongkol, aku mengemas pakaian dan beberapa peralatan mandi ke dalam ransel hitam yang biasanya kupakai untuk pergi ke kampus, setelah mengeluarkan isinya. Kegemaranku untuk mengatasi suasana yang menurutku toxic adalah kabur dari rumah. Namun, sejauh-jauhnya burung terbang pasti akan kembali jua ke sarangnya begitu pula dengan diriku.

Berbagai macam alasan yang membuatku kembali ke rumah meskipun aku tak ingin. Aku kembali tentu saja setelah bujukan—yang terkadang disertai amarah—oleh orang tua dan/atau kakak-kakakku. Setelah sampai rumah pun aku masih menerima kuliah rohani dari mereka. Ceramah yang paling panjang tentu saja kudapatkan dari Ibu.

Lantas apakah semua itu membuatku jera? Tentu saja tidak. Aku sudah mengulanginya berkali-kali dengan pola yang sama.

Setelah mengemas semua barang yang kubutuhkan, aku bergegas melompat dari jendela. Dengan langkah mengendap untuk meminimalkan suara yang mungkin timbul dari semua aktivitas yang kulakukan. Mirip seorang maling yang sukses menggondol harta beda target incarannya. Berusaha agar aksinya tidak ketahuan yang berujung pada aksi ‘main hakim sendiri’ oleh warga. Apabila aku ketahuan, tentu bukan warga yang menghakimiku, tetapi semua anggota keluargaku.

Lolos sampai ruas jalan, aku segera berlari berkejaran dengan gulungan langit yang menggelap. Mendorong matahari ke ufuk barat dan menggantikannya dengan rembulan sabit yang masih terlihat samar. Jika aku kalah, maka rembulan akan terlebih dahulu tampak jelas, bahkan akan mengajak gemintang untuk menguasai langit angkasa jika mendung tak ada.

Saat melihat sebuah rumah dengan cat berwarna hijau pudar nyaris putih, aku berhenti. Beberapa lampu yang tadinya padam, satu per satu mulai dinyalakan. Pertanda ada orang di dalam rumah. Seiring dengan bersinarnya bohlam lampu, bersinar pula ide cemerlang yang sedang tertidur di gelembung otakku.

Dengan langkah gegas dan berapi-api, aku melangkah ke arah rumah yang tampak kokoh dengan dua pilar berlapis marmer yang menyangga atap terasnya. Di kiri dan kanan rumah itu ditumbuhi rumpun bunga krisan warna-warni. Sungguh niat sekali pemilik rumah saat menyemai bibitnya. Ada pohon kamboja Bali warna kuning yang tumbuh di sisi kirinya. Aroma wanginya terhidu tipis di hidungku, terbawa hembusan angin sore.

Aku mengetuk pintu berbahan kayu jati yang berlapis cat warna krem beberapa kali. Sesekali kepalaku melongok ke sisi jendela. Menembus pandang kaca bening yang dengan suka rela menampakkan semua keadaan di dalam rumah jika tirainya tersibak.

Tanpa kusadari mataku beradu tatap dengan pemilik rumah yang juga berusaha mencari tahu siapa tamu yang mengetuk rumahnya di kala senja mulai menyapa, sebelum membuka pintunya. Mengusir rasa keki, aku menyeringai dan menyipitkan mata. Membentuk ekspresi tanpa dosa. Berkebalikan denganku, pemilik rumah tampak mengerutkan dahinya dan menautkan kedua alisnya. Walaupun beberapa detik kemudian terdengar suara anak kunci diputar.

“Kamu? Ngapain ke sini?”

“Mau numpang mandi,” jawabku tanpa basa-basi.

“Rumah kamu kan cuma beberapa meter dari sini, kenapa nggak pulang aja, sih?”

“Putu, kamu nggak mempersilakanku buat masuk dulu, gitu?” Aku melipat tangan di atas perut dan berdecak meremehkan.

Lihat selengkapnya