“Ini makan malam pertamaku dengan seorang wanita.”
Mendengar kalimatnya, kuah panas sup bakso yang baru saja kumasukkan ke dalam mulut menuju aliran yang salah sehingga membuatku tersedak. Saat aku terbatuk tanpa ampun, Putu mengambilkanku segelas air putih. Setelah meminum beberapa teguk benda cair itu, beberapa kali pula aku berdeham agar rasa aneh di saluran eustachiusku menghilang.
“Aku tahu masakanku itu memang enak, tapi makannya nggak usah pakai rakus. Pelan-pelan saja! Dinikmati dulu.” Begitulah nasihat tidak penting yang kudengar dari Putu.
Huh! Dasar sok tahu!
“Keburu lapar. Kalau lapar, cuma dua rasa masakan yang kuketahui. Enak dan enak banget. Kalau perut sedang kenyang, hal itu nggak berlaku,” ucapku dengan nada meremehkan.
Tanpa mempedulikan ucapanku, Putu dengan lahap menikmati makannya.
“Nggak bosan, pagi sarapan sup iga, malam makan sup bakso?” tanyaku di sela-sela mengunyah mi goreng buatan Putu.
“Enggak. Siang tadi juga aku makan sup matahari, kok.” Putu menyeruput kuah supnya dengan nikmat. Membuatku terpengaruh untuk melakukan hal yang sama.
“Kenapa harus asak sendiri? Kenapa nggak beli lauk jadi aja?” tanyaku.
“Biar hemat,” jawabnya singkat.
Aku mencibirnya dengan gemas. Dasar pria pelit. Yang dipikirkannya hanyalah cuan. Aku bersumpah, alasan dia tidak ingin menikah bukan karena trauma, tetapi tidak mau berbagi penghasilan dengan istrinya.
“Put, kalau uang terus-terusan kamu tumpuk, suatu saat kamu akan ditertawakan oleh uang karena banyak keinginan yang kamu pendam agar bisa menhemat uang. Salah satunya adalah menikah.”
Putu menggantungkan suapannya, kemudian menatapku dengan penuh keheranan. “Menikah?” Sekarang dia meletakkan garpunya yang terbebat helaian mi.
“Menikah itu memang harus berbagi segalanya dengan pasangan. Ya, berbagi cinta aja nggak cukup. Harus berbagi uang, berbagi penghasilan,” kataku tanpa menatap ke arahnya, malah asyik memutar mi dengan garpu kemudian melahapnya.
“Sebentar, alasanku untuk tidak menikah bukan karena uang, sepertinya kamu sudah tahu, kan? Atau kamu mungkin memiliki gangguan dengan ingatan?” Putu mengambil kembali garpunya dan melanjutkan suapan.
“Tadinya kupikir apa yang kamu katakana itu memang benar adanya, tetapi semakin kupikir-pikir lagi, kayaknya alasan kamu untuk tidak menikah adalah malah keuangan, deh!”
“Kamu pikir saya orang yang pelit?” Putu menaikkan alisnya.
“Bukan pikiranku, tetapi begitulah adanya. Put, hari gini, ya, nggak ada pria yang rela terkena encok karena kebanyakan menyetrika bajunya sendiri. Pun, nggak ada pria yang rela jemarinya berbau bawang-bawangan dan rempah-rempah karena mengolah makanannya sendiri, alih-alih beli. Para pria di luar sana lebih royal terhadap uang demi kemudahan hidup,” kataku sambil menyelesaikan kunyahan terakhir mi goreng dan segera beralih pada mangkuk sup.
“Bukannya pelit, Gi. Hanya saja, aku sedang berupaya meminimalkan pengeluaran yang nggak penting. Toh, aku nggak pernah terkena encok karena usiaku masih muda dan tubuhku masih bugar. Untuk masalah tangan bau bawang, itu sama sekali nggak penting karena nggak ada orang yang kurang kerjaan dengan mengendus-endus tanganku.” Putu mengarahkan telapak tangannya yang terbuka di depanku.
Aku hanya meresponnya dengan senyum kecut. Sedetik kemudian terlintas di pikiranku untuk membuatnya jengkel. Aku pun mengulurkan tangan dengan posisi yang sama. “Ngomong sama tangan, noh!”