Aku tidak tahu bagaimana kesan pertamaku terhadap teman sekamar baruku itu, Nadhira. Tinggal berdua bersama dengannya di kamar asrama pesantren ini setelah beberapa bulan lamanya kehilangan teman sekamar yang memilih pindah ke pesantren lain menciptakan perasaan yang campur aduk bagiku yang sudah betah lama hidup menyendiri.
Bagiku, Nadhira adalah sosok gadis yang abu-abu. Terlepas dari video gadis itu yang merebak di internet sebagai seorang remaja yang sudah mengalami kerasukan berpuluh-puluh kali dan didokumentasikan melalui siaran stasiun televisi, aku tidak bisa menebak pasti bagaimana kepribadian sebenarnya gadis itu.
Saat pertama kali melihatnya, aku merasa ia adalah seorang gadis yang ceria namun agak acuh dan tidak begitu peduli. Tipikal gadis kota pada umumnya. Namun, saat ia mendesakku untuk menonton video dokumenternya dan bahkan merokok tepat di depan wajahku kemarin, aku seakan melihat kilatan kepribadiannya yang lain namun sulit untuk dapat digambarkan dengan kata-kata.
Tentu saja, saat Nadhira kemarin memberikan bungkus rokoknya padaku aku langsung membuangnya dan memastikan bahwa tidak ada satu penghuni pesantren yang tahu bahwa ada rokok di kamar kami. Aku langsung menyemprotkan banyak pengharum ruangan untuk menutupi bau asap rokok yang Nadhira sebabkan.
Begitupun dengan ponsel pintar milik gadis itu. Salah satu peraturan di pesantren ini adalah tidak boleh menyimpan gadget ataupun ponsel pribadi, karena kebanyakan alat teknologi sudah disediakan oleh pihak pesantren sendiri. Jadi, semalam aku mengumpulkan kepercayaan diri untuk meminta ponsel Nadhira kembali dan mengumpulkannya ke pihak pesantren dengan dalih peraturan para santriwati.
Sejujurnya, aku sempat enggan melakukan hal itu. Untuk ukuran seorang gadis pemalu dan pendiam seperti diriku, aku hanya takut dituduh tukang ikut campur kalau mengurusi barang kepemilikan orang lain. Apalagi Nadhira baru bergabung di pesantren ini, ia mungkin saja berpikiran bahwa teman sekamarnya ini lancang atau bahkan gila urusan.
Namun ternyata, semua perkiraan itu salah. Nadhira dengan suka hati memberikan ponselnya tanpa menggerutu dan memintaku untuk mengumpulkannya langsung ke pihak pesantren. Katanya, ia tidak tahu kalau ada larangan khusus untuk membawa ponsel atau gadget pribadi di pesantren ini.
"Gus Karim tidak memberitahuku kalau ada peraturan semacam itu, aku sama sekali tidak tahu. Aku tidak keberatan kalau tidak pakai ponsel selama berada di sini, jadi tolong kumpulkan, ya."
Nadhira mengucapkan hal itu padaku sambil tersenyum dibalik wajah pucatnya lalu kembali masuk ke dalam selimut tidur miliknya, dengan suka rela merelakan diri jika harus hidup selama beberapa bulan tanpa harus bermain ponsel dan internet seakan itu semua bukanlah masalah besar.
Aku keluar dari gedung asrama menuju gedung kantor administrasi pesantren yang letaknya agak bersebrangan saat hari sudah mulai beranjak malam, tepat setelah waktu shalat Isya sudah selesai untuk dilaksanakan.
Aku menggenggam ponsel milik Nadhira dan mengamatinya sesaat dengan perasaan masih agak sedikit penasaran, sampai akhirnya aku mendengarkan suara kucing yang entah mengapa mengusik pikiranku sehingga membuat diriku lantas refleks membalikkan tubuh dan menengokkan kepala ke atas gedung asrama yang baru saja aku tinggalkan.
Dan saat itu... aku melihat sosok Nadhira sedang berdiri di depan balkon ruangan kamar asrama kami dengan rambut terurai di bawah temaramnya sinar rembulan malam. Seakan sedang mengawasi diriku yang sedang beranjak keluar gedung asrama dan sekali lagi... tersenyum padaku.
Senyuman tanpa arti yang membuatku semakin merasa tidak mengerti akan dirinya.
***
"Nadhira, santriwati pindahan dan teman sekamar barumu itu butuh lebih banyak bimbingan setelah pindah kemari. Ia pindahan dari kota, jadi tidak begitu mengerti tentang kehidupan pesantren. Masuk ke pesantren ini seperti sebuah dunia baru bagi dirinya, karena itu... aku harap kamu dapat membantu Nadhira selanjutnya."
Gus Karim memberikan wejangan kepadaku terlebih dahulu saat aku menghampirinya di ruangan kantor untuk mengumpulkan ponsel pintar milik Nadhira. Aku menganggukkan kepalaku perlahan, sebuah respon biasa sebagai seorang santriwati pada umumnya sambil berdiri di depan meja kantor Gus Karim yang terlihat sedang sibuk mengutak-atik laptop miliknya.
"Tapi... kenapa anak kota seperti Nadhira memilih untuk pindah ke pesantren ini, Gus?"