Satu minggu telah berlalu.
Nadhira menjalani kehidupan barunya sebagai murid pindahan di pesantren ini dengan khusyuk dan khidmat. Jujur saja, aku cukup terkejut. Reaksi Nadhira sebagai santriwati baru yang istilahnya harus menyesuaikan diri dengan dunia pesantren yang begitu ketat dan tertutup agak sedikit di luar dugaan bagiku.
Aku sempat mengajukan beberapa pertanyaan kepada gadis itu setelah kami memutuskan untuk menjadi teman sekamar yang lebih akrab, termasuk soal latar belakang Nadhira sebelumnya.
Nadhira menceritakan padaku bahwa ia tumbuh dari keluarga pebisnis, Ayah dan Ibunya adalah orang-orang sibuk yang kebanyakan menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah.
Selalu ada pembantu yang menemani dirinya setiap harinya sementara Nadhira mengikuti berbagai macam les mulai dari piano sampai berkuda. Nadhira bilang kalau tidak ada yang spesial dari kehidupannya bahkan ia cenderung bosan akan hal itu, namun tentu saja itu adalah jawaban tipikal anak orang kaya yang berasal dari kota. Hanya mendengar kalimat pembukanya saja sudah membuatku paham bahwa pada dasarnya, Nadhira adalah putri dari keluarga yang terpandang dengan status sosial yang tinggi.
Kemudian, Nadhira menceritakan tentang kehidupan sekolah terdahulunya sebelum datang ke pesantren ini. Saat ia menyebut nama bekas sekolahnya saja aku sudah menjerit di dalam hati. Bekas sekolah yang pernah Nadhira tempati adalah salah satu sekolah paling bergengsi dan mahal di negeri ini!
Namun, anehnya Nadhira mengatakan kalau sekolah itu tidak menyenangkan sama sekali. Apalagi setelah ia mengalami kerasukan terus menerus dan video dokumenter miliknya viral, murid-murid di sekolah itu seakan mengklaim Nadhira sebagai 'anak aneh' dan mulai menjauhi gadis itu. Kehidupan Nadhira di sekolah bergengsi itu pada akhirnya menjadi semakin hampa seiring berjalannya waktu.
"Saat aku kerasukan, aku sempat masuk rumah sakit sampai berminggu-minggu lamanya. Dan selama itu, tidak ada satu pun murid dari sekolah itu yang datang menjengukku. Teman sekelasku, teman satu klub dan ekstrakurikuler, bahkan guru-guru di sana... sekedar menanyakan apakah aku baik-baik saja tidak sama sekali. Kau tahu apa yang mengusik pikiran mereka semua pada saat itu?"
"Apa?"
Aku memberikan respon dengan raut wajah sedikit penasaran, membuat Nadhira sempat terkekeh sejenak dan mengejek ekspresi wajahku sebelum akhirnya kembali melanjutkan ceritanya.
"Mereka semua bertanya-tanya... apa penyebab utama hingga aku bisa mengalami hal tidak lazim seperti itu. Apa karena aku disukai jin? Apa karena... orang tuaku melakukan pesugihan selama ini? Omongan-omongan semacam itu terus silih berganti ditujukan kepadaku. Mereka tidak peduli apa yang aku alami, apa yang aku lalui. Orang-orang lebih tertarik dengan cerita tidak masuk akal hanya untuk memuaskan rasa penasaran mereka."
Aku bisa menangkap raut wajah kosong Nadhira saat ia mengatakan hal itu, membuatku prihatin saja.
"Tapi... omongan-omongan orang itu belum tentu benar, kan? Lihat saja sekarang kau sudah sehat," tanyaku sembari menyentuh bahu teman sekamarku itu untuk mengembalikan suasana, membuat Nadhira kembali terkekeh dengan suaranya yang lembut namun entah mengapa tetap terdengar renyah.
"Aku harap begitu. Aku harap... aku benar-benar sudah sehat seperti sedia kala."